Senin, 10 Maret 2008

Mengasah Kreativitas Lewat Menulis


Menulis adalah aktivitas yang mengasyikkan. Dengan menulis kita dapat mengungkapkan ide-ide yang mengendap dalam alam pikir. Sehingga endapan itu dapat menjadi sebuah karya tulis yang bisa dibaca oleh banyak orang. Bukan hanya itu, akan tetapi menulis juga dapat mengasah kreativitas kita, contoh saja kreativitas dalam menyusun kalimat atas ide-ide atau keluh kesah yang akan diungkap dalam tulisan itu. Kalau mau ditekuni sebagai salah satu aktivitas rutin kita, menulis juga dapat dijadikan penopang ekonomi yang cukup menggiurkan. Bayangkan saja ketika dalam waktu seminggu, sedikitnya ada satu karaya tulis kita yang dimuat dalam media massa. Sudah berapa rupiah honor yang siap dikirim ke rekening atas karya tulisan itu.

Syaiful arif adalah seorang cendikia sekaligus penulis asal Lamongan yang cukup di kenal di kalangan penulis pada tingkat nasional. Bapak dari dua anak ini sempat menceritakan perjalanan hidupnya di dunia tulis menulis. Salah satu cerita yang dapat memotivasi kita adalah tentang bagaimana sulitnya proses menulis dalam media massa tempo dulu. Dimana tulisan tidak dapat dikirim via email seperti saat ini. Dulu, tulisan saya dikirim lewat kantor pos, karena pada waktu itu internet masih belum familier seperti halnya sekarang. Namun, kenapa kemudian saat ini kita semakin malas menulis? tandasnya dengan kalimat yang memotivasi kita semua.

Selain itu, pemilik warna kulit hitam manis ini juga memberikan tips menulis dengan benar. Ada beberapa tips yang diungkapkan, akan tetapi yang sempat saya rekam dari ungkapannya adalah;

  • Jangan membaca tulisan terlebih dahulu sebelum tulisan itu berakhir, karena dapat mengganggu fikiran/ide yang akan diungkapkan dalam tulisan. Menulis seperi halnya berbicara, kalau pembicaraan kita dipotong sebelum diakhirinya pembicaraan itu, maka yang akan terjadi pembicara akan sulit meneruskan ungkapannya.
  • Harus Fokus dalam menulis, sesuai dengan apa yang ingin kita tulis. Jangan sampai keluar dari kerangka fokus.
  • Buat Judul yang elegan, karena sangat berpengaruh kurang lebih 25% atas dimuatnya tulisan itu.
  • Perkaya Gaya bahasa dalam tulisan
  • Yakinlah kalau setiap kalimat yang anda tulis itu benar, karena kalau kita ragu maka tulisan tersebut tidak akan selesai-selesai.
  • Kritik Pramodya: penulis muda sering membuat koma dalam tulisan, maka minimalisirlah tanda koma dalam tulisan kita.
  • Penulis baru biasanya membuat kalimat yang panjang dengan menyisakan kebosanan si pembaca tulisan itu. Buatlah kalimat yang singkat oadat dan mudah dipahami oleh pembaca.
Dari tips di atas setidaknya akan menjadi panduan bagi kita untuk membuat karya tulisan yang mendekati sempurna. Dan yang pasti tulisan yang kita buat akan berguna bagi orang-orang yang membacanya.
Pemikir yang juga aktif di Averroes Comunity ini, sangat berharap agar generasi muda sekarang lebih termotivasi lagi untuk belajar menulis. Karena disamping banyak fasilitas yang bisa digunakan dengan mudah, menulis juga dapat memberikan manfaat bagi orang lain.

Dari berbagai harapan dan sarannya, dapat di artikan bahwa membuat karya tulis merupakan aktivitas yang sangat agung. Dampak yang bisa dilihat minimal dengan informasi yang kita tampilkan dalam tulisan kita itu orang lain dapat mengetahui sesuatu hal yang barangkali tidak diketahui sebelumnya. Hal itu akan berdampak langsung terhadap isi memori pengetahuan dalam otak si pembaca tulisan kita itu.


‘Merdeka’ bukan hanya ‘Ceria’


Tanggal 17 Agustus merupakan momentum yang selalu membuat rakyat Indonesia merenungi sekaligus merayakan hari kemerdekaan Repulik Indonesia. Di semua lini pasti kita temukan lampu warna-warni yang dihias dengan berbagai macam keindahan artistik dari desaign perayaan kemerdekaan. Bendera merah putih pun berkibar disetiap sudut desa sampai ke kota di negara kita ini. Semua itu dilakukan dengan penuh keceriaan. Artinya, betapa hegemoniknya momentum tersebut terhadap kesadaran bangsa ini dalam memaknai sebuah sejarah kemerdekaan. Apa benar mereka sedah memaknai kemerdekaan dalam perspektif yang kritis? Atau jangan-jangn kemerdekaan masih dianggap sebagai sebuah peristiwa seremoni atas pembacaan proklamai Soekarno tempo itu?

Dan pertanyaan yang sangat sulit terjawab oleh kita hari ini adalah, Apakah benar hari ini kita sudah tidak terjajah lagi?. Mungkin jawabannya, iya ketika memang sistem kebangsaan kita (ekonomi, politik, sosial dan budaya) benar-benar mampu berdiri di atas daulat bangsa sendiri. Namun, apa iya semua itu terjadi untuk konteks bangsa hari ini?. Hal itu tentu mengingatkan kita pada statment Karl jespers, bahwa kita masih merdeka dalam arti ‘hidup’ (to live), tapi bukan merdeka dalam arti ‘ada’ (to exist). Hidup dapat dimaknai sebagai objek dari setiap gerakan global, dan ada dalam makna sebagai subjek dalam menentukan arah kebangsaan.

Hiruk pikuk peringatan hari kemerdekaan bangsa, tidak lebih hanyalah sebuah fantasi rakyat Indonesia menuju pada kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya. Merdeka tanpa hegemoni asing, tentunya dalam konteks apapun. Baik dalam konteks ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Bahakan tanmalaka menawarkan agar kita juga harus melakukan perubahan mentalitas kebangsaan yang masih sangat kental dengan karakter feodalnya. Mulai dari pioner-pioner bangsa, sampai pada tingkat masyarakat bawah.

Tak salah kalau kemudian dengan kondisi itu, kita telah kehilangan pengetahuan tentang makna ‘aku Indonesia’. Karena subjek aku sebagai rakyat Indonesia telah terpengaruhi oleh maenstream gerakan politik global. Hal ini berakibat pada hilangnya jati diri pengetahuan bangsa. Barangkali yang dikatakan Maichel fucoult benar adanya, bahwa relasi pengetahuan dan kekuasaan berjalan dengan hegemonik. Artinya, pengetahuan kita tidak terlepas dari perputaran kekuasaan. Hal itu bisa terjadi dalam konteks nasional maupun dalam ruang global.
Negara dunia ke tiga (termasuk Indonesia) harus mengakui, bahwa sampai detik ini tindak tanduk atau ruang kognitif dan prilaku kita masih dalam hegemoni pengetahuan yang di sebarkan oleh asing. Kita bisa lihat bagaimana Indonesia menerapkan sitem pemerintahan demokrasi. padahal tanpa kita sadari wacana demokrasi merupakan virus Amerika yang disebarkannya terhadap negara dunia ketiga. Lihat saja kasus invasi Amerika terhadap Irak, terlepas dari kepalsuan dari alasannya menjajah irak, ternyata beberapa analisis menyebutkan bahwa gerakan itu dilakukan hanya untuk menumbangkan rezim otoriter yang di nahkodai oleh Saddam Husein.

Ini berarti bahwa, Amerika tengah gencar menyebarkan virus yang bernama demokrasi untuk kepentingannya dalam memeperkuat emperium ekomnominya yang masih saja menganut sistem pasar bebas. Hal ini juga terjadi di Inggris, ketika melakukan paraktik imperialisme terhadap India. Adapun alasan gerakan imprealistik Ingris bisa kita lihat pemaparan John stuart Mill.

Pemikir liberal Inggris ini mendukung dan terlibat dalam imperialisme negerinya atas India, karena dia percaya tatanan imperial merupakan instrumen yang diperlukan untuk membawa bangsa terbelakang mencapai kemajuan. Argumen Mill bertolak dari klaim superioritas Inggris yang membawa misi pemberadaban. Dalam pandangan Mill, untuk mencapai kemajuannya, India tidak mungkin dibiarkan berdemokrasi sendiri karena pasti akan kacau. Demokrasi dan kebebasan hanya bisa berjalan baik dalam masyarakat dengan kultur dewasa seperti Inggris. Dalam pandangan Mill, imperialisme perlu karena itulah sarana yang secara bertahap akan membawa tahap ”kultur kanak-kanak” India ke tahap ”kultur dewasa”. Pada tingkat tertentu, argumen Mill ini punya kemiripan dengan doktrin imperialisme demokratik ala neokons. Paling tidak, ini ditegaskan Stanley Kurtz, salah seorang pemikir neokons, yang menyarankan rezim Bush mengacu desain yang ditawarkan Mill tentang imperialisme Inggris di India sebagai model bagi pengelolaan Irak (Policy Review, 2003).

Artinya paradigma yang melihat kelas dalam kontek superuoetas dan inferioritas itu masih tetap menjadi penyakita yang dipakai oleh Negara maju dalam melakukan gerakan ekonominya, dengan berkedok pada penerapan system demokrasi. ternyata paradigm yang demikian bukan lagi dijadikan basis penegtahuan yang menggerakkan antar ras seperti yang dilakukan oleh Hitler dijerman sebelum perang dunia ke II, akan tatapi lebih jauh lagi, paradigm tersebut sudah menjadi salah satu alasan yang dipakai untuk menggencarkan praktik imperialisme.

Sebagai Negra yang memilki potensi Sumberdaya Manusia dan Alam seperti Indonesia, seharusnya memiliki gerakan pengetahuan yang dapat termatrialkan dalam bentuk gerakan politik. Tentunya untuk mengantisipasi adanya hegemoni asing dalam setiap prilaku politik yang terjadi di dalam negeri. Ketika itu terjadi maka kontra hegemoni yang dibayangkan oleh Anthonio Gramsci akan terpraktekkan dalam raelitas pelawanan terhadap dominasi Negara maju.

Sebenarnya, Indonesia sudah banyak memiliki pengetahuan dalam kontek gerakan kebangsaan. Kita bisa membuka kembali, bagaimana gagasan Tanmalaka dengan Madilognya, Soekarno dengan NASAKOM-nya, Hatta dengan ekonomi kerakyatannya atau bahkan banyak tokoh gerakan lainnya yang pada waktu itu, benar-benar memiliki semangat kebangsaan untuk membangun negeri ini, menuju negeri yang memilki kepercayaan diri seutuhnya.

Bukankah Soekarno pernah mengatakan, bahwa lebih baik kita hidup diatas kaki kita sendiri dari pada harus menjadi pengemis bagi bangsa lain. Dari statement itu saja kita sudah bisa merefleksikan, bahwa Indonesia harus percaya dan yakin bahwa kita memiliki masa depan yang cerah tanpa harus melakukan kerjasama dengan bangsa lain. Karena, justru dengan kerjasama itu kita akan di kekang dalam ruang kepentingan partner asing.

Realitas Bangsa Berdiri tanpa Keberpihakan


Ketakutan kita terhadap dampak kebijakan politik yang berbasis pada kepentingan ekonomi seringkali menjadi bahan kajian oleh banyak pemikir, utamanya di masa kini. Banyak kebijakan pemerintah yang mengabaikan kondisi sosial yang semakin hari semakin terjepit karena dampak kebijakan itu. Sebagai orang yang berfantasi untuk menjadi salah satu bagian dari masyarakat yang berguna atas penanggulangan kondisi itu, saya tergelitik untuk berkomentar atas realitas kebangsaan saat ini.

Hiruk pikuk gerakan sosial yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa, Non Goverment Organization (NGO), bahkan komunitas gerakan lain yg memiliki kepedulian atas terwujudnya negara yang sejahtera (Welfare State) bisa dilihat sudah kehilangan taringnya dalam mengawal perubahan. Bahkan akhir-akhir ini banyak kita lihat dalam pemberitaan media massa atas prilaku yang berdampak atas citra yang nempel dengan fungsinya sebagai agent of change. Lihat saja aksi tawuran di Universitas Hasanuddin Makasar, bentrok pemilihan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Bengkulu dan lain-lain. Fenomena itu adalah bentuk bergesernya idealitas gerakan yang notabene menjadi corong suara rakyat.

Gerakan sosial yang seperti itu dapat kita analisis indikasinya dengan kondisi kebangsaan, dalam konteks politik International dan Nasional, ekonomi politik, sosial, budaya. Tentunya realitas hari ini juga tidak terlepas dari tarik menariknya kepentingan global (negara maju) atas negara dunia ke tiga, seperti Indonesia.

Greget gagasan anak muda tentang penolakan atas laju asing dapat difilterisasi menjadi gugus ideologis tanpa melepas teks yang ada. Kontekstualisasi dari reinterpretasi pancasila, dapat menjadi semangat baru untuk mengugah kesadaran masyarakat indonesia atas kemampuannya untuk BERDIKARI (Berdiri di Atas Kaki Sendiri).

Barangkali dengan mengintrodusir pemikiran Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir dkk. dapat mengembalikan semangat perlawanan anak bangsa dalam mengusir penjajah. Sebenarnya kalau mau ditelisik lebih mendalam, dapat dipastikan akan terjumpai penjajahan yang lebih kejam dari pada penjajahan belanda ditempo itu. Karena penjajahan di zaman ini tidak dapat terlihat secara kasat mata. Arus globalisasi tengah menjadi virus atas jati diri bangsa yang sedang kita idamkan kehadirannya.

Keberpihakan
Naif kiranya ketika kita hanya mampu untuk menganalisis realitas tanpa ada keberpihakan secara kongkrit. Tindakan yang radikal akan teraktualisasi dalam kerangka gerak, ketika ada sebuah amunisi yang berbasiskan realitas lengkap dengan epertimologi gerakannya.

Seperti yang dilakukan para ‘Bung’ Indonesia (Bung Karno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir,dll.) adalah sebuah sikap dan tindakan yang dampaknya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat Indonesia.

Maka jadilah orang yang seperti mereka, agar perubahan yang selama ini mengendap dalam fantasi kita dapat menjadi realitas kebangsaan yang terasa oleh semua rakyat Indonesia. Jangan samapai arus pengetahuan dan praktik positivisme menjadi karakter ideologis yang tak terbendung. Tugas oraganisasi gerakanlah yang seharusnya intens dalam melakukan penyaringan terhadap mengkarakternya ideologi yang di cetuskan oleh agus comte (1798-1857) tersebut.

Dalam khazanah pengetahuan filsafat positivis sangat gamblang teruraikan bahwa ada sebuah pemisahan antara realitas praksis dengan teori. Artinya teori di posisikan sebagai sebuah nilai pengetahuan yang netral tanpa ada keberpihakan terhadap kelompok yang terdominasi. Epistema positivis yang sperti itu kemudian menjadi indikasi munculnya gagasan kritis yang lahir dari kelompok Mazhab Frankfrut dengan dipelopori oleh Horkheimer, Adorno, Habermas, dll. Mereka menyambutnya dengan memposisikan teori atau pengetahuan yang dapat menembus realitas. Pengetahuan merupakan hasil dialegtis dari realitas dengan teori, sehingga adanya teori yang dihasilkan dari dialegtika tersebut harus memiliki nilai keberpihakan terhadap realitas yang timpang. Setidaknya aksi itu dapat meminimalisir adanya hegemoni kesaaran yang sampai hari ini masih didominasi oleh kesaaran positivistik. (Budhi Hardiman, Fransisco ; 2003 : 18)

Adapun gelanggang pengetahuan yang ada di Indonesia saat itu sempat terisi dengan para pemikir yang sering kali kita sebut dengan sapaan ‘Bung’. Semisal saja Bung Karno yang geli melihat penjajahan sampai akhirnya banyak mencipta karya tulisan lewat buku-bukunya seperti ‘Mencapai Indonesia Merdeka’ (ditulis pada maret 1933 di Bandung). Dimana bahasan pokok yang terdapat didalamnya yaitu tentang rakyat jelata Indonesia yang dalam perjalanan sejarah terus menerus mendapatkan penindasan oleh kalangan penjajah. Rakyat dijadikan sapi perah oleh kelompok kapitalisme-imperialisme eropa (Belanda) yang secara ekonomi selalu menghisap melalui sitem perekonomian yang memonopoli dan memaksa kita untuk berada di dekapan kepentingannya.(Sutrisno, Mudji ; 2005 : 16)

Maka dari itu menjadi penting bagi generasi yang hidup di orde karang (disadur dari lirik lagu 17 April-Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) ini untuk kemudian mencapai sebuah sintesa dari realitas kesejarahan pergulatan pemikiran para ‘Bung’ Indonesia yang tak menutup kemungkinan untuk disinergiskan dengan Ideologi-Ideologi besar dunia.

Kedepan dapat diharapkan adanya sebuah formulasi pemikiran yang dapat merubah kondisi bangsa melalui gerakan dimasing-masing lokus dan concernnya masing-masing. Mahsiswa dengan gerakan Intelektualnya, Lembaga Swadaya Masyarakat dengan gerakan advokasinya, Patai politik dengan gerakan politiknya , dll.

Kegundahan masyarakat akan terjawab dengan adanya evolusi yang mengarah pada perbaikan yang berbasiskan realitas praksis dan pergulatan pemikiran. Sejarah panjang ini kemudian akan dapat berakhir dengan kisah yang menyegarkan bagi kehidupan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Lalu, seberapa besar nyali kita untuk memulai semua itu? Dan adakah pelacakan terhadap kesejarahan bangsa yang tentunya bersamaan dengan penjelajahan pemikiran?