Minggu, 03 Agustus 2008

Indahnya Perbedaan Tanpa Kekerasan


Malam ini jarum jam menunjukkan pukul 00.11 WIB. Di hari minggu tanggal 3 Agustus tahun 2008 ini mata saya masih saja sulit untuk dipejamkan menikmati indahnya tidur di dini hari. Kesulitan untuk memejamkan mata pada jam segitu tidak hanya terjadi saat ini, namun hal ini sering saya alami semenjak mata ini dibiasakan untuk terbuka sampai pagi hari. Memang tidak selamanya saya selalu membuka mata sampai larut pagi, namun aktivitas malam sampai larut pagilah yang membiasakan mata ini terbuka.

Ketika saya masih hidup di kampung halaman (sebelum kuliah), mata ini sering terpejamkan di jam-jam malam sekitar pukul 9 malaman. Karena pada waktu itu, sangat jarang aktivitas yang saya jalani sampai pada larut pagi seperti halnya yang saya alami saat ini. Dari pengalaman hidup saya itu, maka saya sedikit memiliki benag merah bahwa semuanya yang berkenaan dengan dinamika hidup salah satunya tergatung pada kebiasaan. Kebiasaan dalam beraktivitas, berprilaku dan lain-lain.

Saya juga sempat ingat pada kebiasaan sebagian teman yang terbiasa menggunakan tangan kirinya untuk melakukan aktivitas hidupnya. Tangan kiri itu seringkali digunakan ketika memakan sesuatu, memacul, main tenis, dan aktivitas lain yang membutuhkan tenaga lebih. Ada juga teman yang menghisap telunjuk tangannya ketika ngelamun. Bahkan ada juga teman yang merasakan nikmatnya makanan ketika bumbu dari makanan tersebut menggunakan bahan penyedap (micin).

Dari beberapa kebiasaan yang saya sebutkan di atas tentu tidak seperti halnya kebiasaan masyarakat secara umum. Bahkan sebagian dari masyarakat memaknai kebiasaan di atas sebagai kebiasaan yang buruk. Artinya, segala aktivitas kita yang tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat secara umum, masih saja menjadi tabu di lingkungan masyarakat itu sendiri. Ketika sedikit saya mengingat persepsi masyarakat di kampung saya, melihat pemuda yang tidur di jam-jam dini hari, maka persepsi masyarakat pada pemuda tersebut beranggapan bahwa itu adalah pemuda yang nakal, yang senang kelayapan di malam hari. Begitu pula dengan sebagian orang yang memakai tangan kirinya untuk memakan sesuatu, maka masyarakat beranggapan bahwa aktivitas itu tidak baik (ga ilo’), dan lain-lain. 

Padahal kita tahu bahwa alasan dari sebagian masyarakat yang tidak menggunakan kebiasaan masyarakat secara umum itu tidak lagi berbicara tentang baik dan buruk. Namun lebih pada sebuah kenikmatan, ketenangan dan alasan-alasan lain yang pastinya alasan tersebut tidak mengganggu kebiasaan yang berbeda dengan dirinya. Ada prilaku yang saling menghargai atas perbedaan yang terjadi dalam kebiasaan orang dalam beraktivitas. Lalu dimana letak kesalahannya?

Ironisnya, ada sebagian golongan dari msayarakat kita menyikapi perbedaan yang terjadi dengan aksi kriminal. Sebut saja perbedaan dalam berkeyakinan, tak jarang kita temukan aksi kriminal antar golongan yang memiliki perbedaan dalam berkeyakinan. Tidak hanya dalam berkeyakinan, praktisi politik kita pun menanggapi perbedaan dalam menentukan sikap politiknya masing-masing dengan aksi pukul-pukul. Kita tentu ingat bahwa di gedung wakil rakyat juga sering menggonakan aksi kekerasan dalam menyelesaikan persoalan. Sampai-sampai KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengatakan bahwa isi dari gedung DPR tersebut memiliki karakter seperti halnya taman kanak-kanak. Sungguh memalukan!
  

Dari sedikit deskripsi kehidupan di atas, saya sedikit memiliki harapan besar agar suatu saat nanti masyarakat kita lebih menghargai adanya sebuah perbedaan. Selagi perbedaan tersebut tidak berpotensi menimbulkan aksi kriminal maupun aksi kekerasan fisik yang merugikan satu sama lainnya, maka kadikanlah perbedaan itu sebagai bunga-bunga kehidupan yang bisa diambil hikmahnya. Alangkah indahnya ketika setiap perbedaan yang terjadi dalam hidup ini dapat diselesaikan dengan jalan yang dialogis, harmonis dan rasional. Bukan pukul-pukulan!