Jumat, 17 Oktober 2008

Cangkru'an Ilmiah


Saya baru saja datang dari cangkruan di depan kampus. Aktivitas cangkru'an sudah mentradisi di lingkungan mahasiswa UNMER (Universitas Merdeka) Malang. Tidak seperti halnya cangkru'an biasa, namun dari beberapa kelompok cangkru'an itu, ada banyak ragam aktivitas yang dilakukan. Dari aktivitas romantis (sepasang kekasih), ngobrol masalah kampus (tugas, dosen, dan lain-lain), sampai pada kelompok diskusi non formal. 

Nah kebetulan, yang sering saya lakukan adalah nyangkru' (rame-rame) dengan ditemani secangkir kopi sambil mendiskusikan sesuatu. Cangkru'an ilmiah, begitulah biasanya teman-teman menyebutnya. Hal ini memang terkesan remeh-temeh. Namun, ternyata dengan melakukan diskusi non formal ini-lah kita mampu mengasah nalar intelektual yang selama ini menjadi citra dari seorang mahasiswa.

Akhir-akhir ini, banyak orang yang mengeluh atas kualitas intelektual mahasiswa. Maka dari itu, penting kiranya keintelektualan mahasiswa ditumbuhkembahkan kembali. Salah satunya melalui cangkruan ilmiah seperti halnya di atas. 

Keluh kesah masyarakat atas intelektualitas mahasiswa, seharusnya menjadi cambuk tersendiri bagi kita atas tradisi intelektualitas kebangsaan hari ini. Karena biar bagaimana pun, realitas yang terjadi tidak bisa dilepaskan dengan kondisi bangsa yang semakin tak terarah. Dampaknya adalah tradisi berfikir kritis tak tercipta. Pejabat lebih disibukkan dengan persoalan politik an sich, dari pada menyoal tentang sitem pendidikan kritis mahasiswa. 

Mahasiswa hanya bisa merawat forum kultural untuk melatih nalar kritisnya, dari pada bergantung pada pendidikan in class yang ada di kampus. Maka tentunya kondisi ini seharusnya mendapat perhatian khusus bagi pihak pemerintah untuk lebih meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Sehingga gerakan intelektual yang formal, in formal dan non formal dapat berjalan seimbang sesuai dengan dinamika intelektual yang dibutuhkan mahasiswa.

Rabu, 08 Oktober 2008

Lebaran


Lebaran sudah kita lewati bersama. Momentum tersebut, bagaikan magnet yang memancing iman umat muslim untuk menyatakan maaf antar sesama. Kata maaf bagaikan ungkapan yang tak sulit lagi terucapkan. Para politisi, pasangan artis yang tengah bermasalah, dan kelompok-kelompok lain yang sedang bertikai pun sangat mudah mengatakan: Mohon maaf lahir dan bathin ya sob...

Saking seringnya mendapatkan ungkapan (baik langsung maupun tidak) maaf dari sahabat, teman, sodara dan lain-lain, diri saya menjadi tidak reflektif terhadap segala prilaku salah yang pernah dilakukan terhadap orang lain. Bahkan yang terjadi adalah berlomba-lomba untuk mengarang kata-kata bijak untuk dikirimkan/diungkapkan terhadap orang spesial yang saya kenal. Apakah hal ini juga terjadi pada diri anda?

Di sisi lain, ada banyak oknum maupun kelompok yang diuntungkan dalam momentum lebaran ini. Sopir biz tentu akan panen uang, karena banyak pemudik yang antri menjadi penumpang tanpa diajak oleh sang kondiktur biz yang bersangkutan. Makelar tiket pesawat lebih mudah menjual tiketnya, tanpa sulit-sulit mencari calon pembeli seperti hari-hari biasanya. Dan tak ketinggalan dengan pembisnis pakaian, mereka sangat amat diuntungkan di hari kemenangn ini.

Kata maaf di hari yang fitri itu, ternyata banyak membutuhkan modal dalam penyambutannya. selain mempersiapkan pulsa untuk maaf-maafan via SMS, juga sudah menjadi tradisi bahwa lebaran juga akan lebih sempurna ketika mengenakan pakaian baru dalam prosesi perayaannya.

Lalu, benarkah ketika ada yang mengatakan bahwa lebaran yang dijadikan sebagai momentum untuk saling bermaaf-maafan ini hanyalah berjalan dengan cara yang ceremonial saja, yang didalamnya tidak begitu bermakna seperti halnya kata maaf yang dikeluarkan oleh kita semua?

Jumat, 05 September 2008

Pikiran tak Fokus, Tulisan tak Ada


Sudah lama rasanya jari ini tidak mencipta karya tulisan. Menulis adalah aktivitas yang seharusnya saya tekuni. Karena dengan menulis, saya akan lebih tahu bagaimana menggunakan bahasa dengan baik, memadukan emosi dan pikiran dalam berkarya, dan lain-lain. Kurang lebih satu bulanan saya tidak pernah menulis. Psikologi saya sedang kacau.

Ada banyak masalah yang melilit otak saya, sehingga emosi tak dapat dipadukan dengan pikiran. Setiap kali berusaha untuk menulis, konsentrasi pikiran menumpuk. Ide yang akan diejewantahkan dalam tulisan menjadi lebur tak terkontrol. Lalu, bagaimana mengatur emosi, sehingga dapat terpadukan dengan pikiran, menurutku hal peting untuk kita latih bersama.

Ada seorang sahabat yang pernah bilang, ketika ku mencurahkan keluh kesahku dalam menyelesaikan skripsi: Membuat tulisan itu (skripsi) akan menjadi sulit ketika kondisi psikoligis kita sedang kacau, dan ide yang akan ditulis juga tidak ada. Saya sedikit mengiyakan pernyataan itu. Karena, saya merasakannya. Maka menurut saya, membuat diri kita tenang adalah kunci dari menyelesaikan aktivitas keseharian kita dengan maksimal, tidak hanya menulis.

Menulis di blog sebenarnya hal yang mudah. Namun ketika banyak hal yang menggoda pikiran kita, maka blog kita tidak akan pernah terisi. Maka dari itu, memilih prioritas dalam menyelesaikan setiap persoalan yang kita hadapi menjadi wajib hukumnya. Sehingga kita dapat beraktivitas dengan fokus dan mengahsilkan karya yang apik pula.

Sabtu, 16 Agustus 2008

Putri Indonesia 2008


Ada cerita menarik yang ingin saya ceritakan dalam tulisan ini. Malam Sabtu kemarin (15/08/08) saya bersama sahabat-sahabat lagi diskusi kultural di warung kopi (WARKOP) lesehan milik seorang sahabat. Ada sekitar 5 sampai 7 orang yang terlibat dalam forum itu. Kebetulan, WARKOP yang kami tempati terdapat fasilitas televisi. Sehingga di sela-sela diskusi berlangsung, mata kami sempat mencuri perhatian ke televisi. Kebetulan ketika itu ada acara kontes Putri Indonesia 2008. Tentu kita tahu bahwa pengikutnya cewek-cewek sembloheh gitu deh..he..he

Curi-curi pandang.....Begitulah kiranya aksi yang dilakukan peserta diskusi. Saya sempat berfikir: Ternyata perempuan mampu menghentikan semangat untuk belajar. Padahal itu hanya sekedar gambar (visual) saja. Kenapa para kaum adam masih terobsesi untuk menontonnya ya...

Semangat untuk mempertajam nalar intelektual sempat terganggu dengan aksi para kontestan Putri Indonesia itu. Bagaimana nalar kritis bisa terasah, ketika para kaum muda seperti kami masih mementingkan tontonan 'naif'', dari pada melacak realitas dengan kritis?hehe

Konstruk media massa atas kecantikan perempuan, memang strategis untuk membentuk kesadaran kaum adam seperti kami. Saya tidak yakin, ketika kontestan Putri Indonesia terdiri dari orang-orang seperti omas dapat memancing lirikan mata kami seperti halnya yang terjadi pada waktu kemarin.

Artinya, kaum adam saat ini memaknai kecantikan dengan kriteria fisik yang sama seperti halnya Luna Maya (kulit putih, rambut lurus, dll). Betapa kuasanya media mengendalikan kesadaran umat manusia. Begitulah kaum Kapitalis memainkan strateginya. 

Rabu, 13 Agustus 2008

Momentum Kemerdekaan!!!


Pada tanggal 17 Agustus 2008 ini Indonesia akan berusia 63 tahun. Di usia yang sudah cukup tua itu, tentu akan menggugah semangat perubahan bagi kita semua dalam melihat masa depan bangsa. Semangat perubahan itu tidak akan pernah ada tanpa melalui proses belajar atas perjalanan sejarah pergerakan bangsa ini. Maka dari itu penting kiranya bagi kaum masa kini untuk selalu merefleksikan hari kemerdekaan ini sebagai cambuk pergerakan dalam melihat realitas kebangsaan di masa kini dan menatap masa depan Indonesia. Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indesia (NKRI) adalah harga mati. Kedaulatan bangsa adalah satu-satunya solusi dalam menjawab segala bentuk persoalan yang terjadi di masa kini.

Komitmen kesatuan dan persatuan bangsa dalam mengusir penjajah merupakan momentum sejarah yang harus dijamah untuk kemudian memunculkan semangat nasionalisme hari ini. Dengan bermodalkan bambu runcing dan gagasan yang revolusioner rakyat Indonesia mampu bersatu padu meneriakkan perubahan untuk merdeka. Padahal, seperti apa yang kita ketahui bersama bahwa Indonesia memilki keragaman di segala hal. Baik keragaman budaya, agama, kepercayaan, ras dan lain-lain. Maka menjadi keistimewaan ketika pada waktu itu rakyat Indonesia mampu bersatu padu dalam bingkai NKRI di atas keragaman tersebut.

Setelah Indonesia merdeka, semangat perubahan masih menjadi komitmen bersama dalam membangun bangsa ini. Nilai-nilai ideoligis selalu terinternalisasi dalam denyut perjuangan membangun bangsa. Hal itu bisa dilihat bagaimana Soekarno meneriakkan semangat kemandirian bangsa, bagaimana Hatta merumuskan konsep perekonomian kerakyatan (koperasi), bagaimana Tan Malaka menggugah adanya revolusi total, dan masih banyak lagi tokoh pergerakan yang lainnya dalam memberikan sumbangsih pemikirannya untuk Indonesia tercinta.

Bahkan di era orde lama, Indonesia sempat ikut mewarnai dinamika politik Internasional. Dengan gerakan non blok yang dipelopori oleh Soekarno, Indonesia pada kala itu menjadi Negara yang cukup diperhitungkan dalam perseteruan blok barat dan blok timur. Ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kekayan nilai dan nyali pergerakan dalam melakukan pertarungan politik dalam kancah International. Tidak ada kata takut selagi denyut jantung masih bergetar, begitulah kiranya sedikit gambaran semangat pergerakan Bung Karno dan kawan-kawan dalam mewujudkan perubahan. Hanya satu kata : Indonesia, itulah semangat nasionalisme yang selalu tercerap dalam pori-pori sejarah kebangsaan di masa lalu.

Namun harapannya kita tidak terjebak pada romantisme masa lalu, sehingga lalai dalam memperkuat komitmen kebangsaan di masa kini. Ketika kita lihat realitas kebangsaan saat ini, memang sangat memprihatinkan. Kedaulatan bangsa yang pernah ada di masa lalu sudah mulai terkikis adanya. Pancasila yang disepakati sebagi ideologi bangsa, hanya menjadi pajangan di setiap ruangan formal para pejabat publik kita. UUD 1945 diperdebatkan untuk meraup kekuasaan semata, tanpa difungsikan sebagai sentrum konstitusi dalam membangun bangsa.

Kekayaan yang kita miliki musnah seiring dengan eksploitasi bangsa asing terhadap sumber daya alam Indonesia. Kita saat ini hanya bisa menjadi budak bagi bangsa lain. kekuatan neoliberalisme telah memporakporandakan karakter kemandirian bangsa. Kemutakhiran kapitalisme lanjut telah berhasil membuat kesadaran bangsa ini menjadi kesadaran yang naif. Sehingga kita selalu pasrah atas persoalan yang terjadi, kita selalu beranggapan bahwa persoalan ini sudah kronis dan tidak akan ada solusi untuk keluar dari lingkaran penjajahan gaya baru ini.

Sistem pemerintahan pun carut marut, warnanya. Hal itu berdampak terhadap realitas kebangsaan secara menyeluruh. Sebut saja adanya konsep otonomi daerah, otonomi daerah tidak lantas dijadikan sebagai system pemerintahan yang memberikan peluang bagi daerah untuk lebih bebas melakukan manajemen pemerintahan dalam mengelolah daerahnya masing-masing. Namun otonomi daerah saat ini dijadikan sebagai wahana eksplotatif terhadap kekayaan daerah oleh pejabat-pejabat daerah tanpa intervensi dari pemerintah pusat. Karakter para pemimpin bangsa yang selalu mengutamakan kepentingan pribadinya berdampak terhadap komitmen rakyat Indonesia dalam memperkokoh kedaulatan bangsa. Pemimpin bangsa yang tidak pernah memperdulikan bangsanya sudah menjadi trand lidership Indonesia hari ini. Sehingga Negara yang sejahtera (welfare State) sementara ini masih menjadi harapan semata.


Gerakan Anti Korupsi Oleh Mahasiswa


Fenomena tindak korupsi di bangsa ini sudah tidak menjadi hal yang tabu lagi. Hampir setiap hari kita melihat di pemberitaan media massa yang memuat tentang penangkapan para koruptor. Produktivitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memperjuangkan negara yang anti korupsi akhir-akhir ini lumayan terasa. Namun masih saja kita belum sepenuhnya puas akan kinerja mereka. Karena, masih banyak pecandu tindakan korupsi kelas kakap yang berkeliaran tanpa ada penanganan serius dari pihak KPK untuk memenjarakan mereka.

Tindakan korupsi saat ini tidak hanya terjadi di likungan elit semata, namun di masyarakat bawah pun juga tengah menjamur. Hal ini disebabkan dengan semakin terbiasanya kita mendengar kata korupsi lewat media massa maupun dalam bahasan di setiap forum-forum dialog. Sehingga masyarakat menggap tindakan korupsi dengan biasa-biasa saja.

Konstruk media informasi terhadap kesadaran masyarakat dalam konteks tindakan korupsi sangatlah efektif. Seperti yang dikemukakan oleh Prof Dr Thamrin Abdullah dalam sebuah artikelnya di SINDO senin (04/08), kalau kita membaca koran atau menonton televisi, hampir dipastikan bahwa selalu ada tayangan atau publikasi tentang korupsi, mulai dari yang kelas bawah sampai pada kelas atas (baca: elit). Korupsi ini seolah-olah sudah lumrah. Saking banyaknya koruptor yang ditangkap, diadili, didakwa, dan dihukum akhirnya orang biasa saja kalau menonton tayangan tentang korupsi. Dengan demikian, orang yang melakukan korupsi pun merasa seperti biasa-biasa saja.

Melihat realitas yang seperti itu, maka peran mahasiswa sangat dibutuhkan. Untuk kemudian dapat menciptakan pengaruh tandingan dari apa yang sudah menjadi pengaruh media massa terhadap kesadaran masyarakat. Setidaknya peran mahasiswa dapat dipilah menjadi dua bagian. Pertama peran dengan sistem yang top down dan keuda peran bisa dilakukan dengan sistem yang buttom Up. Top down artinya bagaimana peran mahasiswa sebagai midle class (kelas menengah) Mampu memberikan pressure terhadap kalangan atas yang masih saja belum jerah melakukan tindakan korupsi. Adapun gerakan buttom up yang dimaksud adalah mengembalikan gerakan mahasiswa untuk kalangan bawah. Artinya bagaimana mahasiswa dapat memberikan pendidikan yang kritis terhadap masyarakat dalam memaknai realitas prilaku pejabat publik atas tindakan korupsinya. Bahwa tindakan tersebut merupakan sebuah perilaku yang harus dihindari dan dilawan secara massif. Dengan begitu mahasiswa akan memiliki peran sebagai kelompok yang secara konsisten menyebarkan kesadaran terhadap semua kalangan. Utamanya dalam konteks pemberantasan atas tindakan korupsi.

Selasa, 12 Agustus 2008

Cerita Operasi Lalu Lintas


Tiba-tiba saja aku melihat sekumpulan polisi di jalan itu. Lalu jantungku spontan deg-degan. Huh kena lagi....(bicaraku dalam hati). Ternyata mereka tidak mengoperasi sepeda motor. Namun, target mereka kendaraan beroda empat. Aku langsung merasa legah. Dan setibanya di tempat tujuan, sejenak aku merefleksikan diri: Ternyata pak polisi bikin orang deg-degan juga ya...Padahal mereka kan ga berkepentingan sama aku...Kenapa? Apa mungkin karena saya yang sering melanggar aturan lalu lintas. Juga bisa jadi image polisi itu sendiri yang menakutkan bagi masyarakat sipil sepertiku. 

Setelah aku melakukan refleksi itu, ternyata ada seorang sahabat yang telah menjadi korban dari operasi lalu lintas yang aku ceritakan di atas. Sebut saja namanya Kang Toto. Setelah beliau bercerita tentang tragedi yang menimpanya itu, lalu Kang Vivi memotong cerita dengan pertanyaan: Kena berapa mas?. Celakanya yang menjawab pertanyaan tersebut bukan Kang Toto. Namun, Kang Sa'ie yang segera bersuara dengan celetukan: Dasar otakmu itu.....Yang namanya kena tilang itu ya berurusan dengan pengadilan. Kan itu urusan hukum. Belum apa-apa sudah bilang kena berapa....Kang vivi menjawab celetukan itu: Kan realitasnya, ketika ada yang kena tilang langsung membayar ke polisi yang menilang?. Ini bukan persoalan realitas yang seperti itu, namun masalah otak kamu, sambut Kang Sa'ie.....Lalu semua tertawa (hahaha) 

Minggu, 03 Agustus 2008

Indahnya Perbedaan Tanpa Kekerasan


Malam ini jarum jam menunjukkan pukul 00.11 WIB. Di hari minggu tanggal 3 Agustus tahun 2008 ini mata saya masih saja sulit untuk dipejamkan menikmati indahnya tidur di dini hari. Kesulitan untuk memejamkan mata pada jam segitu tidak hanya terjadi saat ini, namun hal ini sering saya alami semenjak mata ini dibiasakan untuk terbuka sampai pagi hari. Memang tidak selamanya saya selalu membuka mata sampai larut pagi, namun aktivitas malam sampai larut pagilah yang membiasakan mata ini terbuka.

Ketika saya masih hidup di kampung halaman (sebelum kuliah), mata ini sering terpejamkan di jam-jam malam sekitar pukul 9 malaman. Karena pada waktu itu, sangat jarang aktivitas yang saya jalani sampai pada larut pagi seperti halnya yang saya alami saat ini. Dari pengalaman hidup saya itu, maka saya sedikit memiliki benag merah bahwa semuanya yang berkenaan dengan dinamika hidup salah satunya tergatung pada kebiasaan. Kebiasaan dalam beraktivitas, berprilaku dan lain-lain.

Saya juga sempat ingat pada kebiasaan sebagian teman yang terbiasa menggunakan tangan kirinya untuk melakukan aktivitas hidupnya. Tangan kiri itu seringkali digunakan ketika memakan sesuatu, memacul, main tenis, dan aktivitas lain yang membutuhkan tenaga lebih. Ada juga teman yang menghisap telunjuk tangannya ketika ngelamun. Bahkan ada juga teman yang merasakan nikmatnya makanan ketika bumbu dari makanan tersebut menggunakan bahan penyedap (micin).

Dari beberapa kebiasaan yang saya sebutkan di atas tentu tidak seperti halnya kebiasaan masyarakat secara umum. Bahkan sebagian dari masyarakat memaknai kebiasaan di atas sebagai kebiasaan yang buruk. Artinya, segala aktivitas kita yang tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat secara umum, masih saja menjadi tabu di lingkungan masyarakat itu sendiri. Ketika sedikit saya mengingat persepsi masyarakat di kampung saya, melihat pemuda yang tidur di jam-jam dini hari, maka persepsi masyarakat pada pemuda tersebut beranggapan bahwa itu adalah pemuda yang nakal, yang senang kelayapan di malam hari. Begitu pula dengan sebagian orang yang memakai tangan kirinya untuk memakan sesuatu, maka masyarakat beranggapan bahwa aktivitas itu tidak baik (ga ilo’), dan lain-lain. 

Padahal kita tahu bahwa alasan dari sebagian masyarakat yang tidak menggunakan kebiasaan masyarakat secara umum itu tidak lagi berbicara tentang baik dan buruk. Namun lebih pada sebuah kenikmatan, ketenangan dan alasan-alasan lain yang pastinya alasan tersebut tidak mengganggu kebiasaan yang berbeda dengan dirinya. Ada prilaku yang saling menghargai atas perbedaan yang terjadi dalam kebiasaan orang dalam beraktivitas. Lalu dimana letak kesalahannya?

Ironisnya, ada sebagian golongan dari msayarakat kita menyikapi perbedaan yang terjadi dengan aksi kriminal. Sebut saja perbedaan dalam berkeyakinan, tak jarang kita temukan aksi kriminal antar golongan yang memiliki perbedaan dalam berkeyakinan. Tidak hanya dalam berkeyakinan, praktisi politik kita pun menanggapi perbedaan dalam menentukan sikap politiknya masing-masing dengan aksi pukul-pukul. Kita tentu ingat bahwa di gedung wakil rakyat juga sering menggonakan aksi kekerasan dalam menyelesaikan persoalan. Sampai-sampai KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengatakan bahwa isi dari gedung DPR tersebut memiliki karakter seperti halnya taman kanak-kanak. Sungguh memalukan!
  

Dari sedikit deskripsi kehidupan di atas, saya sedikit memiliki harapan besar agar suatu saat nanti masyarakat kita lebih menghargai adanya sebuah perbedaan. Selagi perbedaan tersebut tidak berpotensi menimbulkan aksi kriminal maupun aksi kekerasan fisik yang merugikan satu sama lainnya, maka kadikanlah perbedaan itu sebagai bunga-bunga kehidupan yang bisa diambil hikmahnya. Alangkah indahnya ketika setiap perbedaan yang terjadi dalam hidup ini dapat diselesaikan dengan jalan yang dialogis, harmonis dan rasional. Bukan pukul-pukulan! 


Sabtu, 02 Agustus 2008

Si Bebi: Realitas Hidup yang Dinamis


Terkadang hidup ini terasa menakjubkan, takjub karena kedinamisan hidup yang luar biasa. Ketakjuban dalam hidup terkadang terasa dalam diri kita yang masih saja sering memposisikan hidup seperti halnya tombol televisi, ketika dipencet tombol yang berwarna merah, maka dengan sendirinya televisi kita akan hidup. Hal itu ternyata tidak, pada hidup. hidup kita sebagai manusia sangat dinamis. Tak jarang ketika kita mengharapkan sesuatu atas prilaku kita sehari-hari, harapan tersebut tidak terjadi. Itulah salah satu contoh kehidupan manusia yang dinamis.

Bingung ya...gampangnya seperti ini...ketika kecil kita bercita-cita untuk menjadi dokter, ternyata cita-cita tersebut belum bisa menjadi jaminan atas masa depan kita, bahwa masa depan kita pasti akan menjadi dokter. Berbeda dengan hitung-hitungan matematis, dimana yang namanya satu tambah satu akan mengahsilkan dua. Namun di zaman sekarang, peradaban tengah melilit kita dengan pengetahuan yang membuat hidup kita menjadi statis. Bahkan kita tidak bisa menghindar atas kepungan pengetahuan yang memiliki epistema yang seperti itu. Adapun tokoh yang menjadi pelopor atas lahirnya pengetahuan tersebut adalah August Comte, ia mencoba menggabungkan antara ilmu eksakta dengan ilmu sosial. Sehingga dalam melihat realitas kehidupan sosial bisa diteropong melalui perhitungan statistik. Salah satu turunan dari pemikiran tersebut, menghasilkan metode penelitian kuantitatif yang saat ini banyak digunakan oleh para peneliti di Indonesia, bahkan dunia.

Untuk membuktikan sebuah kasus sosial bisa dilacak oleh logika statistik. Maka dinamika hidup menurut perspektif positivismenya A. Comte bisa diketahui melalui perhitungan fisika, kimia dan matematika. Karena hidup itu pasti ada sebab dan akibatnya (kausalitas), sehingga logika hidup, sama halnya dengan logika perhitungan.

Posisi pengetahuan di era positivis ini akan menjadi netral. Pengetahuan hanya menjadi detektif realitas tanpa ada solusi menangani realitas tersebut. Hal itulah yang kemudian direspon kelompok pemikir kritis. Mereka beranggapan bahwa pengetahuan yang kita miliki dan kita yakini sebagai kebenaran harus berpihak terhadap realitas yang timpang. Karena degan keberpihakan tersebut pengetahuan dapat terasa manfaatnya dalam menjawab penindasan yang terjadi di masyarakat.

Namun tanpa saya harus bahas panjang lebar proses dialektika para pemikir positivis dan kritis, mari kita sejenak merefleksikan hidup kita sehari-hari. Apakah benar bahwa hidup kita statis? Atau barangkali kita merasakan hidup ini sangat dinamis? Ingat, bahwa kita hidup juga terdapat bahasa didalamnya. Dimana bahasa memiliki sejuta makna yang dinamis. Maka kalau begitu bisakah kita sebut bahwa bahasa yang kita pakai memiliki logika statistik seperti yang dikatakan kelompok positivis? Contoh sederhana: apakah makna dari bahasa yang mengatakan jancok (kata-kata jorok dalam bahasa jawa) dapat dimaknai jorok selamanya? Ternyata hal itu tidak pada teman saya, sebut saja namanya bebi, dia memanggil Ibunya dengan sebutan jancok. Namun makna jancok bagi si bebi bukan identik dengan kata-kata kotor seperti halnya pemaknaan masyarakat jawa pada umumnya terhadap kata jancok. Setelah saya tanyakan makna jancok bagi si bebi, ia mengatakan bahwa jancok bagi saya tidak memiliki makna apa-apa. Ya hanya simbol/bahasa untuk memanggil orang yang kita kenal dekat.

Lalu, ketika melihat realitas seperti yang terjadi pada bebi itu, bisakah kita memaknai hidup ini statis seperti halnya tombol televisi yang saya ceritakan di atas

Kamis, 31 Juli 2008

ORGANISASI MAHASISWA DALAM KEPUNGAN ‘SISTEM’


Menguatkan sistem keorganisasian dari tiap-tiap elemen mahasiswa adalah salah satu keharusan bagi pemerintah untuk menguatkan sistem demokrasi. Perubahan sosial dan politik bangsa ini harus diakui sebagai salah satu jasa dari pergerakan yang dipelopori oleh organisasi mahasiswa. Karena, fungsi dari organisasi mahasiswa yang selalu mengontrol realitas kebangsaan. Ketika melihat dan merasakan realitas masyarakat yang tidak sesuai dengan idealitas mahasiswa, maka gerakan turun jalan akan mewarnai dinamika demokrasi bangsa.

Penting untuk diketahui bahwa menggemuruhnya gerakan protes mahasiswa tidak terlepas dari peranan oraganisasi. Dari organisasi tersebut kemudian mahasiswa dapat mengkonsolidasikan kekuatan ide dalam melacak fenomena ekonomi, politik, sosial dan budaya. Pertarungan ide, pemikiran kritis dan sikap politik mahasiswa muncul atas perspektif nilai dan paradigmatik dari tiap-tiap organisasi yang digelutinya. Sehingga kekuatan kontrol dari organisasi mahasiswa terhadap dinamika realitas yang ada masih tetap bertahan.

Ironisnya, pemerintah hari ini masih saja merespon gerakan mahasiswa dengan sikap yang sinis. Hal itu dapat dibutikan pasca kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), melihat gerakan mahasiswa yang menggelegar untuk memprotes kebijakan tersebut, pihak pemerintah bersikap kesal. Sikap kesal dari pemerintah dapat dilihat dari adanya sebuah rencana untuk membubarkan organisasi mahasiswa. Mereka beranggapan bahwa gerakan turun jalan tidak ada manfaatnya sama sekali, yang terpenting bagaimana mahasiswa dapat betah belajar di dalam kelas.

Sikap kritis mahasiswa seharusnya dapat dimaknai sebagai kekuatan demokrasi. Karena salah satu syarat mutlak dari penerapaan demokrasi adalah ketersediaannya ruang publik. Gerakan mahasiswa dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk ruang publik yang harus disambut sebagai sesuatu hal yang positif dan didukung, tentunya. Bukan sebaliknya, pemerintah memusuhi apa yang menjadi gerakan protes mahasiswa.

Ketika mahasiswa selalu berada di dalam kelas seperti apa yang diinginkan oleh pihak pemerintah, maka gerakan kontrol mahasiswa atas dinamika ekonomi, politik, sosial dan budaya akan semakin lenyap. Bisa dipastikan, yang diuntungkan atas kenyatan tersebut adalah pihak pengambil kebijakan. Karena mereka akan dengan seenaknya sendiri dalam membuat sebuah kebijakan. Meskipun kebijakan yang diambil tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat secara umum.

Demokrasi yang hari ini kita rasakan adalah demokrasi yang berhenti pada tataran prosedur semata. Namun demokrasi yang benar-benar menghargai nilai-nilai kebebasan masih kurang begitu dapat dirasakan. Padahal kata kunci dari penerapan demokrasi adalah ‘kebebasan’. Dalam konteks tersebut seharusnya pemerintah dapat menghargai apa yang menjadi kebebasan berfikir dari masing-masing organisasi mahasiswa. Kebebasan mahasiswa dalam menyampaikan pemikiran dapat dijadikan sebagai kekutan demokrasi yang substansial, bukan berhenti pada tataran prosedural.

Artinya, posisi kebebasan mahasiswa dalam berpartisipasi atas dinamika demokrasi yang ada, berada pada posisi yang dikepung oleh ‘sistem’. Sistem yang tidak pernah menghargai hak kedaulatan rakyat dalam menentukan kompas perubahan bangsa. Ketika hal ini masih saja dibiarkan, maka lambat laun Indonesia akan menjadi negara yang ‘hidup’ tanpa ada ‘kehidupan’.

Rabu, 30 Juli 2008

PEJABAT SIBUK BERKAMPANYE


Pemilihan umum sudah tinggal beberapa bulan lagi. Setidaknya terdapat 34 partai politik yang sudah ditetapkan menjadi partai yang sah sebagai peserta dari pemilu 2009 nanti. Dari jumlah tersebut, terdapat beberapa partai politik baru yang cukup menegangkan kancah perpolitikan nasional. Karena gerakan politik (kampanye) dari partai tersebut tengah gencar dilakukan. Bahkan dari gerakan politik itu, masyarakat bisa langsung mengenal nama-nama partai beserta pemimpinnya dari sebagian partai baru itu. Itu pun terjadi jauh-jauh hari sebelum ketetapan partai yang sah mengikuti pemilu diumumkan.
 
Kalau dulu, biasanya masyarakat akan mendapatkan suguhan kampanye politik, ketika ketetapan waktu kampanye diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun saat ini meskipun waktu kampanye yang ditetapkan KPU baru saja ditetapkan, banyak partai politik yang melakukan kampanye di sebelum ketetapan itu ada. Kampanye merupakan sebuah gerakan politik yang berfungsi sebagai media transformasi nilai, sosialisasi visi-misi, sosialisasi kader partai dan ajakan untuk menjadi partisipan/konstituen dari partai politik. Tidak hanya partai politik, banyak lembaga sosial ataupun profesional lain yang sering menggunakan kata kampanye untuk mensosialisasikan program dan mengajak masyarakat untuk berpartisipasi atas program yang disosialisasikannya. 

Hiruk pikuk kampanye politik hari ini tengah banyak dilakukan, utamaya oleh pejabat publik. Banyak diantara mereka yang merelakan diri untuk mundur dari kursi jabatannya demi aktivitas kampanye politik partainya masing-masing. Bukan hanya sosialisasi partai semata, namun kampanye yang dilakukan juga untuk mensosialisasikan dirinya secara pribadi dalam menyambut pemilu 2009 nanti. 

Amanah publik yang seharusnya dipikul sampai akhir jabatan, sudah tidak menjadi tanggung jawab yang diperhatikan. Mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongannya dari pada memikirkan amanah publik atas tanggung jawabnya selama menajdi pejabat. 

Kepentingan publik sudah menjadi dinomorsekiankan dari prilaku politik pejabat dalam memenuhi kepentingan politiknya. Keterpurukan ekonomi dan persoalan masyarakat yang lainnya diabaikan demi karir politik yang akan diraih dalam PEMILU 2009 nanti. Lalu, bagaimana masa depan bangsa ini ketika prilaku pejabat publik tidak peduli lagi tehadap nasib publik?

 







TAK ADA UANG, TAK ADA PENDIDIKAN


Sangat memperihatinkan! Begitulah ungkapan yang paling tepat, ketika melihat kondisi pelayanan pemerintah terhadap pendidikan anak-anak Indonesia. Pelayanan yang kurang memberikan akses terhadap mereka yang kurang mampu masih saja mewarnai wajah buruk pemerintah dalam memberikan pelayanan untuk menanggulangi adanya putus sekolah. Jargon wajib sekolah 9 tahun, ternyata hanya menjadi iklan (komersialisasi) pendidikan semata tanpa diiringi dengan kebijakan yang strategis untuk menanggulangi jumlah anak-anak negeri yang tidak mampu melanjutkan sekolah sampai 9 tahun. Kebijakan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) ternyata juga tidak mampu untuk mengurangi jumlah anak jalanan yang masih memiliki status sebagai anak yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Lalu, kepada siapakah mereka harus mengadu?

Tentu hal ini menjadi keperihatinan kita bersama dalam melihat realitas pendidikan anak yang masih saja tidak ada keberpihakan terhadap masyarakat miskin di republik ini. Anak-anak yang semestinya dipersiapkan untuk menjadi pengganti mereka (kaum muda dan tua) di hari esok, saat ini malah dibiarkan terpuruk begitu saja. Tak jarang kita temukan adanya tindakan kriminal yang dilakukan oleh mereka yang masih berusia dibawah umur. Hal itu dapat dijadikan sebagai salah satu bukti bahwa tidak ada keperdulian dari pihak pengambil kebijakan dalam memberikan solusi atas kerisauan mereka dalam mejalani hidup ini. Sehingga pilihan hidupnya berujung pada tindakan yang tidak seharusnya dilakukan. Salah siapa semua ini? Tentu bukan sepenuhnya menjadi salah mereka dalam memilih jalan hidup yang seperti itu, karena keterjepitan ekonomi yang mereka alami memaksanya untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan oleh kita semua.

Tak ada uang, tak ada pendidikan. Itulah yang selama ini dirasakan oleh mereka yang benar-benar kurang mampu dalam membayar biaya pendidikan yang sangat mahal. Hal ini mengingatkan kita pada teori Darwinisme Sosial, dikatakannya bahwa dalam menjalani hidup ini, sudah menjadi hukum alam ketika yang kuat menjadi pemenang atas yang lemah. Para pengikut teori ini, beranggapan bahwa ketika manusia tidak dapat hidup survive di dunia ini, maka itu menjadi kesalahan mereka sendiri yang bermalas-malasan untuk melakukan persaingan dengan yang kuat dalam melakoni hidupnya. Ketika teori itu diterapkan, maka kata Thomas Hobbes: realitas kehidupan akan menjadikan manusia sebagai serigala bagi manusia yang lainnya (homo homini lupus).

Mari sejenak kita refleksikan, apa benar pejabat publik kita hari ini sebagai pengikut teori Darwinisme Sosial? Ketika itu benar, maka pastinya mereka akan menyalahkan atau membiarkan anak-anak jalanan yang putus sekolah, karena mereka tidak mampu survive menjalani hidupnya. Dan akan membanggakan kelompok kaya yang selalu bisa menikmati pendidikan, karena uangnya.

Selasa, 22 Juli 2008

Demokrasi Untuk Bapak



Saya heran atas ungkapan seorang teman, sebut saja namanya Bokir, yang mengatakan bahwa penggunaan hak pilihnya dalam Pemilihan Gubernur (PILGUB) di hari Rabu besok (23/07/08), dilakukan hanya karena alasan menghargai Bapaknya. Bapak dari teman saya itu dikampungnya sebagai takmir Masjid. Apa kata orang kalau saya tidak ikut nyoblos di PILGUB nanti. Ungkapnya sambil geleng-geleng kepala (saya ga tau apa itu simbol dari penyesalan dia sebagai anak seorang takmir Masjid atau hanya sekedar olah raga tulang leher semata) .


Tidak hanya si Bokir, akan tetapi banyak anak muda (khususnya mahasiswa) yang bersikap acuh tak acuh terhadap Pemilihan Umum (PEMILU) yang katanya memakan biaya yang cukup besar itu. Padahal PEMILU adalah salah satu prosedur penerapan sistem demokrasi. Demokrasi adalah sebuah nilai yang menghendaki adanya kebebasan/kadaulatan rakyat dalam menentukan pilihan, mencurahkan pendapat/pemikran, dll. Maka seharusnya PEMILU dapat memacu partisipasi masyarakat sepenuhnya, termasuk patisipasi kalangan muda.


Agenda sosialisasi PEMILU sudah dilakukan dengan maksimal oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun banyaknya agenda sosialisasi itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap si Bokir dan pemuda lain untuk menggunakan hak pilihnya dengan kesadarannya sendiri. Ironisnya, meskipun ada orang yang seperti si Bokir dalam realitas demokrasi Indonesia, pemerintah tidak menjadikannya sebagai bahan evaluasi yang cukup serius. Bahkan Indonesia dengan penerapan sitem PEMILU seperti yang kita rasakan saat ini dicap sebagai Negara yang sangat demokrastis di dunia.


Menurut hemat saya, kita seringkali memaknai demokrasi lewat prosedurnya saja. Akan tetapi tidak melihat lebih jauh, bagaimana kesadaran masyarakat dalam penerapan prosedur demokrasi tebut. Sehingga demokrasi kita hari ini lebih pada corak demokrasi proseduran, namun tidak substansial. ya ga bro?

Kamis, 10 Juli 2008

Partainya Anak Kecil


Pagi tadi (10/07/08) saya melihat beberapa anak kecil yang sedang berkumpul di depan gang rumahnya. Mereka memperlihatkan ekspresi yang penuh semangat dan menggunakan kostum yang bergambar salah satu partai politik terbesar di kota Malang. Usut punya diusut, ternyata mereka lagi mempersiapkan diri untuk berpartisipasi atas kampanye salah satu calon wali kota Malang bersama kedua orang tunya masing-masing. Saya sempat tertegun melihat prilaku mereka, disaat Lembaga Survey Indonesia (LSI) mengabarkan atas hasil surveynya tentang berkurangnya kepercaan masyarakat terhadap partai politik, mereka malah dengan gegap gempita memperlihatkan militansinya terhadap bendera partai itu.

Tak lama kemudian, datang seorang bapak yang memakaikan kacamata berwana merah yang identik dengan warna dominan partai itu. Dari aksi si bapak tersebutlah saya berfikir, jangan-jangan anak itu bersemangat bukan karena tahu visi-misi calon wali kota yang akan dikampanyekan? apa iya, semangat mereka dikarenakan ajakan orang tuanya? atau mereka bersemangat karena tahu kalau dengan ikut kampanye mereka akan mendapatkan 'sesuatu'?

Pertanyaan di atas sampai sekarang masih belum terjawab. Akan tetapi, saya terheran-heran atas realitas tersebut. Entah kenapa masyarakat kita sampai hari ini masih memiliki kepercayaan terhadap prilaku politik partai. Padahal banyak hasil survey mengatakan, janji-janji politik para juru kampanye ketika menawarkan visi misi calonnya hampir tidak diaplikasikan dalam pembuatan kebijakan, tatkala sang calon tersebut mampu meraup kekuasaan. Janji politik para politisi itu hanya menjadi pemanis bibir untuk meraih simpati masyarakat saja.

Biasanya, simpati masyarakat dapat diraih ketika para politis memainkan politrik pencitraan. Apalagi konstruksi media massa terhadap kesadran politik masyarakat tengah melilit. Bahkan hal itu dijadikan sebaga trend strategi politik kebangsaan hari ini. Ironisnya, ctra yang didapatkan dari masyarakat hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politik sesaat saja, tanpa diimbangi dengan pembuktian yang riil atas citra yang didapatnya. Lalu, kalau karakter berpolitik tokoh-tokoh bangsa ini masih seperti itu, kapan Indonesia bisa bangkit?

Selasa, 08 Juli 2008

Melihat Indonesia


Indonesia adalah negara yang memiliki dinamika sosial, politik dan budaya yang lentur. Kondisi sosial kita hari ini masih tetap saja tidak bisa dijustifikasi bermasalah. Karena ada fakta sosial yang bisa kita temukan tanpa masalah. Sebut saja masyarakat menanggapi masalah modernitas. Namun yang ingin saya katakan disini adalah bukan hendak mempermaslahkan fakta sosial, politik dan budaya yang salah atau benar. Akan tetapi saya ingin mengajak kita semua untuk melihat realitas ketiga fokus kajian tersebut yang tidak stagnan. Artinya, realitas sosial masyarakat Indonesia tidak dapat di kongklusikan dengan fakta tertentu yang digeneralisir menjadi fakta sosisal indonesia. begitupun dalam realitas politik dan budaya.

Saya tidak pernah membayangkan orde baru dapat ditumbangkan. Entah karena saya yang tidak berpengetahuan, hingga saya tidak pernah menganalisis realitas politik kebangsaan. Atau jangan-jangan realitas politik penumbangan orde baru datang dengan tiba-tiba tanpa ada yang memprediksi. Dalam pemilihan umum 1999 dalam realitas politik kita dikagetkan dengan terpilihnya Gus Dur menjadi Presiden. Bahkan di dalam realitas politik di PEMILU 2004 kemenangan Susilo bambang yudhoyono sempat mengagetkan. Karena kedua momentum politik tersebut sama-sama tidak di jadikan sebagai perbincangan analisis politik masyarakat pada umumnya.

Realitas kebudayaan juga tidak kalah dinamis dan lenturnya dari realitas sosial politik. Karena pada dasarnya Indonesia lahir dengan basis keragaman. Dimana kebudayaan Indonesia tidaj dapat didefinisikan secara saklek. Hal itu terjadi bukan hanya dari awal kelahiran Indonesia, sampai saat ini pun Indonesia masih ragam akan kebudayaan, dan lainnya.



Kamis, 29 Mei 2008

Mencari Tau Pelopor Kebangkitan Bangsa


Banyak komponen pergerakan yang hari ini tengah bersemangat untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional (HARKITNAS). Peringatan kali ini dianggap sebagai momentum pergerakan yang sangat special dibandingkan dengan peringatan HARKITNAS sebelumnya. Karena tepat pada tanggal 20 Mei 2008 sejarah pergerakan kebangkitan nasional diyakini telah berumur 100 tahun.

Se-abad kebangkitan nasional yang banyak menumbuhkan semangat gerakan, pastinya juga meyakini bahwa Boedhi Oetomo (BO) sebagai tonggak pergerakannya. Namun catatan sejarah yang terdapat dalam teks-teks sejarah pergerakan kita saat ini tidak lantas dijadikan sebagai rujukan sejarah yang dogmatis tanpa ada kritik sejarah. Karena ada bukti sejarah pergerakan yang berkata lain atas kebangkitan nasional tersebut.

Pantaskah tanggal 20 mei 1908 dijadikan sebagai momentum kebangkitan nasional? Seandainya kita sedikit ada usaha untuk melacak sejarah gerakan, maka tentu akan terlontar pertanyaan seperti itu. Karena sebenarnya BO adalah organisasi dibawah kendali pemerintah belanda. Angota-angotanya pun kebanyakan menjadi pegawai belanda.

Bukan itu saja, dibelakang BO pun terdapat fakta yang mencengangkan. Ketua pertama BO yakni Raden Adipati Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, ternyata adalah seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Loge Mataram sejak tahun 1895.

Sekretaris BO (1916), Boediardjo, juga seorang Mason yang mendirikan cabangnya sendiri yang dinamakan Mason Boediardjo. Hal ini dikemukakan dalam buku “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962” (Dr. Th. Stevens), sebuah buku yang dicetak terbatas dan hanya diperuntukan bagi anggota Mason Indonesia.

BO Tidak Bervisi Kebangsaan
BO adalah organisasi yang tidak sama sekali memiliki visi kebangsaan, melainkan Visi kedaerahan dibawah kepentingan belanda. Karena sangat jelas sekali di dalam Pasal 2 Anggaran Dasar BO tertulis “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis. ” Inilah tujuan BO, yang bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan.

Dalam setiap pembahasan rapat-rapatnya, mereka tidak pernah berbicara bagaimana membangun gerakan kebangsaan. akan tetapi pembahasannya lebih pada menggalang kekuatan untuk membangun tanah madura dan jawa menjadi tanah yang bekesejahteraan dibawah kendali ratu belanda.

Selain itu, BO juga memposisikan Islam sebagai penghalang dari gerak langkah yang dilakukan. Sehingga mereka sangat berkeinginan untuk menyingkirkan Islam sebagai upaya meluruskan dan melancarkan gerakan mereka.

Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereniging berkata: “Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya... Sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan. ”

Sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik BO di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (M. S) Al-Lisan nomor 24, 1938.

Selain tujuan organisasi yang sangat chauvinistik, ternyata bahasa yang digunakan dalam aturan dan komunikasi organisasinya tidak memakai bahasa melayu. Namun bahasa yang digunakan mereka adalah bahasa belanda.

Dari beberapa fakta sejarah di atas sudah jelas bahwa ada pembusukan sejarah di negeri kita ini. Kepentingan kelompok penjajah, bersembunyi di balik teks-teks sejarah yang selama ini tersosialisasikan terhadap masyarakat. Sebenarnya, banyak teks sejarah yang hendak mengungkap fakta sejarah yang sesungguhnya. Baik berupa artikel maupun buku-buku sejarah pergerakan.


KH Firdaus AN adalah Tokoh dan Penulis Islam yang sepanjang hayat secara lantang menyerukan perlunya pembaharuan atas tradisi peringatan kebangkitan nasional, kritiknya melalui tulisan tersebar di berbagai media juga melalui buku – buku yang beliau tulis utamanya “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo : Meluruskan sejarah pergerakan bangsa”, sayangnya buku tersebut sekarang sudah langka dan sudah tentu sangat terpuji jika diantara kita yang “memilikinya” bersedia berbagi dan mempublikasikan buku tersebut secara terbuka melalui blog atau website sebagai ataupun media tulisan yang lain sebagai bagian dari upaya pelurusan sejarah pergerakan bangsa.

Berkenaan dengan tulisan KH. Firdaus AN, ternyata tonggak penggerak kebangkitan bangsa bukan BO, akan tetapi aktivis-aktivis pergerakan yang memiliki semangat kebangsaan seperti halnya Syarikat Islam (SI) yang berdiri pada tanggal 16 Oktober 1905 (tiga tahun sebelum lahirnya BO). Maka dari itu, setelah kita lacak fakta-fakta sejarah, dan memahami adanya titik manipulasi teks sejarah, tentu kita sepakat bahwa motor penggerak kebangkitan nasional yang sesungguhnya adalah SI.

Seperti kita ketahui bersama bahwa SI tidak sebatas pergerakan Islam melainkan pergerakan nasional yang terbuka terbukti SI mewadahi berbagai latar belakang ideologi termasuk bergabungnya beberapa anggota yang ber-ideologi radikal seperti Semaun, Darsono dan Alimin yang kemudian dikenal sebagai SI Merah. Sebagai Bapak Pergerakan Nasional Rumah HOS Tjokroaminoto di Gang Peneleh 7 Surabaya menjadi tempat indekost bagi tokoh – tokoh pergerakan, disanalah tempat diskusi politik dan kebangsaan lintas ideologi.

3 orang tokoh pergerakan yang berguru dan indekost di rumah HOS Tjokroamnito adalah Ir. Soekarno, Kartosuwiryo dan Semaun. Ketiganya dikenal lantaran banyak memberikan warna bagi perjalanan pergerakan nasional, Bung Karno kemudian hijrah ke Bandung dan mendirikan partai nasional yang menjadi cikal bakal lahirnya PNI, Semaun dan kawan – kawannya kemudian mendirikan Partai Komunis Hindia Belanda pada tahun 1920 dan tidak lama berselang berubah menjadi Partai Komunis Indonesia yang diketuai oleh Semaun, sementara Kartosuwiryo kemudian dikenal sebagai Tokoh Islam yang berpengaruh luas dan sempat memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia.

Dari realitas di atas, mari kita sambungkan energi gerakan kita pada pioner gerakan yang sesungguhnya. Jangan sampai sejarah dapat menjebak kita lagi. Karena ketika itu terjadi berulang-ulang kali, maka kita akan semakin berada di bawah panji kepentingan penjajah. Tunjukkan bahwa kita punya harga diri, yang merupakan kumpulan dari semua komitmen kebangsaan. Dari dulu kita mencita-citakan bangsa yang bebas dari kepentingan negara lain. Bangkitlah wahai pemuda, bangkitlah wahai kaum miskin kota dan bangkitlah wahai kesatria pergerakan. Kita sudah terlalu lama disakiti, sudah saatnya kita membalas kepedihan ini dengan kebangkitan yang sejati nan mandiri.

Logika dan 'Kita'


Dalam menjalani hidup, manusia pasti tidak akan terlepas dari retualitas berfikir. Berfikir tentang apa, siapa, bagaimana, dan seterusnya. Maka dari itu kita kemudian menjadi butuh belajar tentang ilmu logika (filsafat berfikir). Logika adalah sebuah sistem berfikir yang didalamnya meliputi teknik berfikir yang apik. Orang sering kali berkomentar tentang pemikiran orang lain dengan kalimat bertanaya seperti; logiskah pemikiran orag tersebut?

Tapi belum kita tanyakan pada sang komentator tersebut, apakah dia paham atas logika berfikir yang benar? Benar dalam artian sesuai dengan sistematika berfikir yang ada dalam ilmu logika.

Tidak hanya berhenti di dalam sistem berfikir, akan tetapi ilmu logika juga mempelajari tentang bahasa. Karena setiap pemikiran kita pasti akan terekspresikan lewat bahasa. Belum tentu orang yang memiliki sistematika berfikir yang bagus, dapat diterima oleh orang lain ketika dalam ungkapan bahasanya tidak mampu untuk mempengaruhi pendengar agar yakin atas buah hasil fikirannya tersebut. Bahasa dalam hal ini berada dalam posisi yang cukup penting dalam mempelajari ilmu logika.

Tentu kita juga sepakat bahwa apa yang kita fiikirkan dan bahasakan adalah bentuk tangkapan kita terhadap medan realitas. Maka belajar logika juga tidak akan bisa sempurna ketika kita masih belum mampu menangkap realitas dengan cepat dan cekat. Karena manusia adalah makhluk sosial (zon politicon), maka penguasaan terhadap realitas sosial adalah salah satu kunci bagi kita untuk menumbuhkan sistematika berfikir yang logis.

Adapun tokoh yang sampai saat ini masih banyak diikuti pemikirannya tentang logika adalah Aristoteles. Ketokohannya di bidang logika sangat diakui semenjak abad pertengahan, bahkan hingga saat ini pun orang-orang katolik yang belajar filsafat masih memegang teguh ilmu logika yang di cetuskan oleh murid dari Plato ini. Mereka bahkan tidak mau menerima datangnya pemikiran modern tentang logika.

Dalam ilmu logikanya karya terpenting Aritoteles adalah tentang silogisme. Silogisme itu ialah sebuah argumen yang terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama; premis mayor, kedua; premis minor dan terakhir konklusi atau kesimpulan. Ada beberapa silogisme yang masing-masing memiliki nama yang berbeda-beda oleh kamu skolastik.
Berikut beberapa silogisme tersebut:

Silogisme ini bentuk paling di kenal dan dinamakan ‘Barbara’:

Semua manusia fana (Premis mayor).
Jamaludin adalah manusia (Premis minor).
Dengan demikian: Jamaludin fana (Kesimpulan).
Atau:
Semua manusia fana (Premis mayor).
Kader Partai adalah seorang manusia (Premis minor).
Dengan demikian: Kader Partai fana (Kesimpulan).

Bentuk ini dinamakan ‘Calerent’:

Tak ada ikan yang rasional (Premis mayor).
Semua hiu adalah ikan (Premis minor).
Dengan demikian: tak ada hiu yang rasional (Kesimpulan).

Bentuk ini dinamakan ‘Darii’:

Semua manusia rasioanal (Premis mayor).
Sebagian binatang adalah manusia (Premis minor).
Dengan demikian: sebagian binatang adalah rasional (Kesimpulan).

Bentuk ini dinamakan ‘Ferio’:

Tak ada orang Yunani berkulit hitam (Premis mayor).
Sebagian manusia adalah orang Yunani (Premis minor).
Dengan demikian: sebagian manusia tak berkulit hitam (Kesimpulan).

Dari beberapa bentuk silogisme di atas, tentunya akan semakin mempermudah kita dalam mengatur jalan pikir yang mungkin sebelumnya kurang begitu teratur. Dan silogisme ini juga penting ketika kita berada pada titik pengambilan kepeutusan. Karena pengambilan keputusan tidak lantas ditetapkan tanpa ada sebuah proses berfikir yang logis. Silogisme merupakan salah satu alat untuk mencapai kebijaksanaan dalam mengambil sebuah keputusan yang logis tersebut.

Tulisan ini adalah sekelumit saja tentang bagaimana kita mempelajari ilmu logika. Namun kita tidak perlu cemas, karena sampai hari ini di media informasi seperti halnya buku, artikel tentang logika, majalah off line atau pun on line atau bahkan media pendidikan seperti halnya kurikulum pendidikan di perguruan tinggi masih banyak yang menyediakan informasi terkait dengan ilmu logika ini.

‘Berfikirlah Dengan Logis, Berbahasalah Dengan Sistematis, Dan Bertindaklah Dengan Strategis’

Konsolidasi Gerakan



Di beberapa hari kemarin saya sempat berada dalam satu forum dengan para buruh di Kota Malang. Forum tersebut merupakan bentuk konsolidasi gerakan yang dibangun oleh semua sektor organisasi mulai dari kalangan mahasiswa, buruh, petani dan organisasi kemasyarakatan lainnya se-kota Malang.

Ada statement menarik dari seorang buruh yang sempat tersimpan dalam memori ingatan saya. Bapak yang kebetulan menjadi koordinator umum forum tersebut mengatakan bahwa: kita harus memperkuat aliansi gerakan ini, untuk kemudian merespon beberapa bentuk kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat. Karena selama ini kita terpecah-pecah, dan out put gerakannya pun tidak jelas. Utamanya kepada kawan-kawan mahasiswa, kami sebagai buruh sangat membutuhkan kalian, karena sampai saat ini kami percaya bahwa kalianlah yang bisa menjadi pelopor dari barisan gerakan rakyat. Jadi, ayo kita bersama-sama saling bergandengan tangan untuk memperjuangkan hak-hak rakyat, pungkasnya.

Dari statement tersebut hati saya sedikit tersentuh, bahwa ternyata memang benar masyarakat kita hari ini masih membutuhkan mahasiswa. Untuk kemudian memberikan pendidikan kritis, sehingga dapat melakukan gerakan bersama-sama dalam satu barisan. Lalu, bagaimanakah dengan mahasiswa saat ini dalam mengemban amanah tersebut? Apakah mahasiswa saat ini secara umum telah memiliki kesadaran yang sama dengan buruh yang saya tulis diatas?

Kalau kita lihat, ada problematika kebudayaan yang mengakar di lingkungan mahasiswa saat ini. Kesadaran mahasiswa sangat beragam, ada beberapa mahasiswa yang memang sadar akan tugas dan fungsi sosialnya, seperti halnya harapan buruh di atas. Ada yang tidak tahu menahu atas problem sosil seperti jeritan buruh itu dan ada yang sudah tahu atas problem yang dihadapi masyarakat, akan tapi kesadarannya masih naif dalam melihat realitas tersebut.

Problematika kesadaran tersebutlah yang akhirnya berdampak terhadap lemahnya gaung gerakan mahasiswa dalam memperjuangkan keadilan, kebenaran dan kejujuran. Pihak pemerintah dalam hal ini sangat diuntungkan. Mereka dengan santainya berkata: Alhamdulillah kondisi perekonomian kita hari ini stabil, karena banyak investor yang masuk untuk menglolah sumberdaya alam kita. Hal ini terjadi juga tidak terlepas partisipasi masyarakat yang tertib dalam menjaga keamanan. Sehingga mereka tertarin untuk menjadi investor bagi negara kita, dalihnya.

Padahal kenyataannya, semakin hari kita semakin terjerat oleh kemiskinan, pengangguran dan lain sebagainya. Sebentar lagi subsidi BBM akan dicabut, eksploitasi terhadap alam sudah tidak dapat dibendung lagi, lalu bagaimana respon mahasiswa atas realitas penindasan tersebut.

Kekuatan global dalam merangkai sistem penindasan harus diakui keberhasilannya. Hal itu bisa dilihat dari semakin meredupnya gerakan kritis masyarakat dalam membendung gerakan dominasinya di negara dunia ketiga seperti Indonesia. Maka kita jangan malu-malu untuk mangatakan: Selamat wahai penindas, teruskan semangat penindasanmu, karena dengan begitu masyarakatku akan segera terhenyak dari lelap tidurnya, semoga!

Sabtu, 10 Mei 2008

BBM NAIK, RAKYAT KECIL JADI KORBAN


Beberapa hari lagi banyak kaum gerakan yang akan mengingat kembali momentum pergerakan Budhi Oetomo. Tanggal 20 Mei 2008 ini merupakan se-Abad Kebangkitan Nasional yang tentunya mengingatkan kita pada tonggak pergerakan Budhi Oetomo. Namun harapannya momentum tersebut tidak hanya dijadikan sebagai agenda reflektif semata. Lebih dari itu, kita sebagai warga negara harus mampu untuk melacak realitas kebenaran di masa kini dengan melihat di masa lampau dan menyongsong di masa mendatang.

Kita ketahui bersama bahwa realitas politik kebangsaan hari semakin rumit adanya dengan adanya rencana pemerintah mengurangi subsidi BBM. Hal ini menjadi ironis ketika kebijakan tersebut tidak diimbangi dengan kebijakan lain yang dapat mengembangkan pendapatan per capita masyarakat.

Mari sejenak kita analisis, sejauh mana dampak dari kebijakan tersebut. yang pasti ketika pengurangan subsidi tersebut dilakukan, maka secara otomatis harga BBM akan naik pula. Dan menurut informasi yang sering ditampilkan lewat televisi harga BBM kedepan akan naik kurang lebih 30 persen dari harga yang sekarang.

Belum lagi dampak terhadap harga sembako, atau bahkan dengan kebutuhan-kebutuhan primer dan sekunder yang lainnya. yang pasti akan ikut naik seperti halnya kenaikan BBM itu sendiri. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa semua kebutuhan kita hari ini atas hasil produksi yang memakai BBM.

Adapun masyarakat yang lebih banyak mendapatkan dampak dari kebijakan tersebut, sesungguhnya masyarakat kalangan bawah yang nota bene bukan pengguna BBM terbesar di Indonesia. Bahkan kalau mau jujur, kelompok borhuislah yang lebih banyak menghabiskan BBM kita selama ini. Hal itu bisa dibuktikan dengan seberapa banyak perusahaan-perusahan membutuhkan BBM dalam setiap harinya? Seberapa besar mobil-mobil orang-orang kelas atas membutuhkan BBM di setiap harinya?

Ketika realitasnya seperti demikian, seharusnya yang lebih banyak menanggung akibat dari melonjaknya harga minyak dunia dan kelangkaan minyak Indonesia adalah kelompok-kelompok borjuis. Bisa jadi dengan peningkata pajak bagi mereka tanpa harus mengurangi subsidi BBM. Setujukah anda?

Sabtu, 03 Mei 2008

Momentum HARDIKNAS Banyak Yang Respon


Pada tanggal 2 Mei 2008, banyak aksi jalanan yang dilakukan oleh  kelompok yang merasa menjadi korban dari wajah pendidikan nasional. ada apa dengan wajah pendidikan kita hari ini? Dari beberapa orasi yang disampaikan, ternyata mereka meneriakkan tentang komersialisasi di dunia pendidikan.

Lembaga pendidikan kita tak ubahnya perusahaan yang selalu mengutamakan keuntungan dari pada kualitas barang hasil produksinya. Setidaknya suara sumbang tersebut datang dari beberapa kelompok yang secara kritis telah melakukan investigasi terhadap lika-liku pendidikan nasional. utamanya dalam konteks regulasi yang ada, RUU BHP misalnya. Bentuk kritik civistas akademika terhadap RUU tersebut adalah bagaimana lembaga pendidikan diberikan keleluasaan untuk memproduksi peserta didiknya dengan kewenangan penuh.

Kekhawatirannya, apabila hal itu terjadi maka yang namanya lembaga pendidikan akan dengan sangat mudah dalam menaikkan atau memepermainkan biaya pendidikan yang ada. Karena, penerapan RUU BHP tersebut akan berdampak terhadap pencabutan subsidi pemerintah yang konsekwensinya seluruh biaya pendidikan akan di tanggung oleh peserta didik.

Lembaga pendidikan yang memiliki status Negri, bisa diprediksi kedepannya tidak akan ada perbedaannya dengan lembaga pendidikan swasta. Dimana biaya oprasional pendidikannya ditanggung sepenuhnya oleh murid-murid sekolah atau mahasiswa.

Ketika realitasnya demikian, maka tak salah apabila hari pendidikan di tahun ini, banyak kalangan yang menyambutnya dengan gegap gempita gerakan untuk kritis terhadap hal tersebut di atas. Namun gerakan tinggallah gerakan, tampa dibarengi dengan respon positif dari pemerintah untuk merubah kebijakannya dalam memberikan pelayanan yang baik terhadap masyarakatnya.

Senin, 10 Maret 2008

Mengasah Kreativitas Lewat Menulis


Menulis adalah aktivitas yang mengasyikkan. Dengan menulis kita dapat mengungkapkan ide-ide yang mengendap dalam alam pikir. Sehingga endapan itu dapat menjadi sebuah karya tulis yang bisa dibaca oleh banyak orang. Bukan hanya itu, akan tetapi menulis juga dapat mengasah kreativitas kita, contoh saja kreativitas dalam menyusun kalimat atas ide-ide atau keluh kesah yang akan diungkap dalam tulisan itu. Kalau mau ditekuni sebagai salah satu aktivitas rutin kita, menulis juga dapat dijadikan penopang ekonomi yang cukup menggiurkan. Bayangkan saja ketika dalam waktu seminggu, sedikitnya ada satu karaya tulis kita yang dimuat dalam media massa. Sudah berapa rupiah honor yang siap dikirim ke rekening atas karya tulisan itu.

Syaiful arif adalah seorang cendikia sekaligus penulis asal Lamongan yang cukup di kenal di kalangan penulis pada tingkat nasional. Bapak dari dua anak ini sempat menceritakan perjalanan hidupnya di dunia tulis menulis. Salah satu cerita yang dapat memotivasi kita adalah tentang bagaimana sulitnya proses menulis dalam media massa tempo dulu. Dimana tulisan tidak dapat dikirim via email seperti saat ini. Dulu, tulisan saya dikirim lewat kantor pos, karena pada waktu itu internet masih belum familier seperti halnya sekarang. Namun, kenapa kemudian saat ini kita semakin malas menulis? tandasnya dengan kalimat yang memotivasi kita semua.

Selain itu, pemilik warna kulit hitam manis ini juga memberikan tips menulis dengan benar. Ada beberapa tips yang diungkapkan, akan tetapi yang sempat saya rekam dari ungkapannya adalah;

  • Jangan membaca tulisan terlebih dahulu sebelum tulisan itu berakhir, karena dapat mengganggu fikiran/ide yang akan diungkapkan dalam tulisan. Menulis seperi halnya berbicara, kalau pembicaraan kita dipotong sebelum diakhirinya pembicaraan itu, maka yang akan terjadi pembicara akan sulit meneruskan ungkapannya.
  • Harus Fokus dalam menulis, sesuai dengan apa yang ingin kita tulis. Jangan sampai keluar dari kerangka fokus.
  • Buat Judul yang elegan, karena sangat berpengaruh kurang lebih 25% atas dimuatnya tulisan itu.
  • Perkaya Gaya bahasa dalam tulisan
  • Yakinlah kalau setiap kalimat yang anda tulis itu benar, karena kalau kita ragu maka tulisan tersebut tidak akan selesai-selesai.
  • Kritik Pramodya: penulis muda sering membuat koma dalam tulisan, maka minimalisirlah tanda koma dalam tulisan kita.
  • Penulis baru biasanya membuat kalimat yang panjang dengan menyisakan kebosanan si pembaca tulisan itu. Buatlah kalimat yang singkat oadat dan mudah dipahami oleh pembaca.
Dari tips di atas setidaknya akan menjadi panduan bagi kita untuk membuat karya tulisan yang mendekati sempurna. Dan yang pasti tulisan yang kita buat akan berguna bagi orang-orang yang membacanya.
Pemikir yang juga aktif di Averroes Comunity ini, sangat berharap agar generasi muda sekarang lebih termotivasi lagi untuk belajar menulis. Karena disamping banyak fasilitas yang bisa digunakan dengan mudah, menulis juga dapat memberikan manfaat bagi orang lain.

Dari berbagai harapan dan sarannya, dapat di artikan bahwa membuat karya tulis merupakan aktivitas yang sangat agung. Dampak yang bisa dilihat minimal dengan informasi yang kita tampilkan dalam tulisan kita itu orang lain dapat mengetahui sesuatu hal yang barangkali tidak diketahui sebelumnya. Hal itu akan berdampak langsung terhadap isi memori pengetahuan dalam otak si pembaca tulisan kita itu.


‘Merdeka’ bukan hanya ‘Ceria’


Tanggal 17 Agustus merupakan momentum yang selalu membuat rakyat Indonesia merenungi sekaligus merayakan hari kemerdekaan Repulik Indonesia. Di semua lini pasti kita temukan lampu warna-warni yang dihias dengan berbagai macam keindahan artistik dari desaign perayaan kemerdekaan. Bendera merah putih pun berkibar disetiap sudut desa sampai ke kota di negara kita ini. Semua itu dilakukan dengan penuh keceriaan. Artinya, betapa hegemoniknya momentum tersebut terhadap kesadaran bangsa ini dalam memaknai sebuah sejarah kemerdekaan. Apa benar mereka sedah memaknai kemerdekaan dalam perspektif yang kritis? Atau jangan-jangn kemerdekaan masih dianggap sebagai sebuah peristiwa seremoni atas pembacaan proklamai Soekarno tempo itu?

Dan pertanyaan yang sangat sulit terjawab oleh kita hari ini adalah, Apakah benar hari ini kita sudah tidak terjajah lagi?. Mungkin jawabannya, iya ketika memang sistem kebangsaan kita (ekonomi, politik, sosial dan budaya) benar-benar mampu berdiri di atas daulat bangsa sendiri. Namun, apa iya semua itu terjadi untuk konteks bangsa hari ini?. Hal itu tentu mengingatkan kita pada statment Karl jespers, bahwa kita masih merdeka dalam arti ‘hidup’ (to live), tapi bukan merdeka dalam arti ‘ada’ (to exist). Hidup dapat dimaknai sebagai objek dari setiap gerakan global, dan ada dalam makna sebagai subjek dalam menentukan arah kebangsaan.

Hiruk pikuk peringatan hari kemerdekaan bangsa, tidak lebih hanyalah sebuah fantasi rakyat Indonesia menuju pada kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya. Merdeka tanpa hegemoni asing, tentunya dalam konteks apapun. Baik dalam konteks ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Bahakan tanmalaka menawarkan agar kita juga harus melakukan perubahan mentalitas kebangsaan yang masih sangat kental dengan karakter feodalnya. Mulai dari pioner-pioner bangsa, sampai pada tingkat masyarakat bawah.

Tak salah kalau kemudian dengan kondisi itu, kita telah kehilangan pengetahuan tentang makna ‘aku Indonesia’. Karena subjek aku sebagai rakyat Indonesia telah terpengaruhi oleh maenstream gerakan politik global. Hal ini berakibat pada hilangnya jati diri pengetahuan bangsa. Barangkali yang dikatakan Maichel fucoult benar adanya, bahwa relasi pengetahuan dan kekuasaan berjalan dengan hegemonik. Artinya, pengetahuan kita tidak terlepas dari perputaran kekuasaan. Hal itu bisa terjadi dalam konteks nasional maupun dalam ruang global.
Negara dunia ke tiga (termasuk Indonesia) harus mengakui, bahwa sampai detik ini tindak tanduk atau ruang kognitif dan prilaku kita masih dalam hegemoni pengetahuan yang di sebarkan oleh asing. Kita bisa lihat bagaimana Indonesia menerapkan sitem pemerintahan demokrasi. padahal tanpa kita sadari wacana demokrasi merupakan virus Amerika yang disebarkannya terhadap negara dunia ketiga. Lihat saja kasus invasi Amerika terhadap Irak, terlepas dari kepalsuan dari alasannya menjajah irak, ternyata beberapa analisis menyebutkan bahwa gerakan itu dilakukan hanya untuk menumbangkan rezim otoriter yang di nahkodai oleh Saddam Husein.

Ini berarti bahwa, Amerika tengah gencar menyebarkan virus yang bernama demokrasi untuk kepentingannya dalam memeperkuat emperium ekomnominya yang masih saja menganut sistem pasar bebas. Hal ini juga terjadi di Inggris, ketika melakukan paraktik imperialisme terhadap India. Adapun alasan gerakan imprealistik Ingris bisa kita lihat pemaparan John stuart Mill.

Pemikir liberal Inggris ini mendukung dan terlibat dalam imperialisme negerinya atas India, karena dia percaya tatanan imperial merupakan instrumen yang diperlukan untuk membawa bangsa terbelakang mencapai kemajuan. Argumen Mill bertolak dari klaim superioritas Inggris yang membawa misi pemberadaban. Dalam pandangan Mill, untuk mencapai kemajuannya, India tidak mungkin dibiarkan berdemokrasi sendiri karena pasti akan kacau. Demokrasi dan kebebasan hanya bisa berjalan baik dalam masyarakat dengan kultur dewasa seperti Inggris. Dalam pandangan Mill, imperialisme perlu karena itulah sarana yang secara bertahap akan membawa tahap ”kultur kanak-kanak” India ke tahap ”kultur dewasa”. Pada tingkat tertentu, argumen Mill ini punya kemiripan dengan doktrin imperialisme demokratik ala neokons. Paling tidak, ini ditegaskan Stanley Kurtz, salah seorang pemikir neokons, yang menyarankan rezim Bush mengacu desain yang ditawarkan Mill tentang imperialisme Inggris di India sebagai model bagi pengelolaan Irak (Policy Review, 2003).

Artinya paradigma yang melihat kelas dalam kontek superuoetas dan inferioritas itu masih tetap menjadi penyakita yang dipakai oleh Negara maju dalam melakukan gerakan ekonominya, dengan berkedok pada penerapan system demokrasi. ternyata paradigm yang demikian bukan lagi dijadikan basis penegtahuan yang menggerakkan antar ras seperti yang dilakukan oleh Hitler dijerman sebelum perang dunia ke II, akan tatapi lebih jauh lagi, paradigm tersebut sudah menjadi salah satu alasan yang dipakai untuk menggencarkan praktik imperialisme.

Sebagai Negra yang memilki potensi Sumberdaya Manusia dan Alam seperti Indonesia, seharusnya memiliki gerakan pengetahuan yang dapat termatrialkan dalam bentuk gerakan politik. Tentunya untuk mengantisipasi adanya hegemoni asing dalam setiap prilaku politik yang terjadi di dalam negeri. Ketika itu terjadi maka kontra hegemoni yang dibayangkan oleh Anthonio Gramsci akan terpraktekkan dalam raelitas pelawanan terhadap dominasi Negara maju.

Sebenarnya, Indonesia sudah banyak memiliki pengetahuan dalam kontek gerakan kebangsaan. Kita bisa membuka kembali, bagaimana gagasan Tanmalaka dengan Madilognya, Soekarno dengan NASAKOM-nya, Hatta dengan ekonomi kerakyatannya atau bahkan banyak tokoh gerakan lainnya yang pada waktu itu, benar-benar memiliki semangat kebangsaan untuk membangun negeri ini, menuju negeri yang memilki kepercayaan diri seutuhnya.

Bukankah Soekarno pernah mengatakan, bahwa lebih baik kita hidup diatas kaki kita sendiri dari pada harus menjadi pengemis bagi bangsa lain. Dari statement itu saja kita sudah bisa merefleksikan, bahwa Indonesia harus percaya dan yakin bahwa kita memiliki masa depan yang cerah tanpa harus melakukan kerjasama dengan bangsa lain. Karena, justru dengan kerjasama itu kita akan di kekang dalam ruang kepentingan partner asing.

Realitas Bangsa Berdiri tanpa Keberpihakan


Ketakutan kita terhadap dampak kebijakan politik yang berbasis pada kepentingan ekonomi seringkali menjadi bahan kajian oleh banyak pemikir, utamanya di masa kini. Banyak kebijakan pemerintah yang mengabaikan kondisi sosial yang semakin hari semakin terjepit karena dampak kebijakan itu. Sebagai orang yang berfantasi untuk menjadi salah satu bagian dari masyarakat yang berguna atas penanggulangan kondisi itu, saya tergelitik untuk berkomentar atas realitas kebangsaan saat ini.

Hiruk pikuk gerakan sosial yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa, Non Goverment Organization (NGO), bahkan komunitas gerakan lain yg memiliki kepedulian atas terwujudnya negara yang sejahtera (Welfare State) bisa dilihat sudah kehilangan taringnya dalam mengawal perubahan. Bahkan akhir-akhir ini banyak kita lihat dalam pemberitaan media massa atas prilaku yang berdampak atas citra yang nempel dengan fungsinya sebagai agent of change. Lihat saja aksi tawuran di Universitas Hasanuddin Makasar, bentrok pemilihan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Bengkulu dan lain-lain. Fenomena itu adalah bentuk bergesernya idealitas gerakan yang notabene menjadi corong suara rakyat.

Gerakan sosial yang seperti itu dapat kita analisis indikasinya dengan kondisi kebangsaan, dalam konteks politik International dan Nasional, ekonomi politik, sosial, budaya. Tentunya realitas hari ini juga tidak terlepas dari tarik menariknya kepentingan global (negara maju) atas negara dunia ke tiga, seperti Indonesia.

Greget gagasan anak muda tentang penolakan atas laju asing dapat difilterisasi menjadi gugus ideologis tanpa melepas teks yang ada. Kontekstualisasi dari reinterpretasi pancasila, dapat menjadi semangat baru untuk mengugah kesadaran masyarakat indonesia atas kemampuannya untuk BERDIKARI (Berdiri di Atas Kaki Sendiri).

Barangkali dengan mengintrodusir pemikiran Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir dkk. dapat mengembalikan semangat perlawanan anak bangsa dalam mengusir penjajah. Sebenarnya kalau mau ditelisik lebih mendalam, dapat dipastikan akan terjumpai penjajahan yang lebih kejam dari pada penjajahan belanda ditempo itu. Karena penjajahan di zaman ini tidak dapat terlihat secara kasat mata. Arus globalisasi tengah menjadi virus atas jati diri bangsa yang sedang kita idamkan kehadirannya.

Keberpihakan
Naif kiranya ketika kita hanya mampu untuk menganalisis realitas tanpa ada keberpihakan secara kongkrit. Tindakan yang radikal akan teraktualisasi dalam kerangka gerak, ketika ada sebuah amunisi yang berbasiskan realitas lengkap dengan epertimologi gerakannya.

Seperti yang dilakukan para ‘Bung’ Indonesia (Bung Karno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir,dll.) adalah sebuah sikap dan tindakan yang dampaknya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat Indonesia.

Maka jadilah orang yang seperti mereka, agar perubahan yang selama ini mengendap dalam fantasi kita dapat menjadi realitas kebangsaan yang terasa oleh semua rakyat Indonesia. Jangan samapai arus pengetahuan dan praktik positivisme menjadi karakter ideologis yang tak terbendung. Tugas oraganisasi gerakanlah yang seharusnya intens dalam melakukan penyaringan terhadap mengkarakternya ideologi yang di cetuskan oleh agus comte (1798-1857) tersebut.

Dalam khazanah pengetahuan filsafat positivis sangat gamblang teruraikan bahwa ada sebuah pemisahan antara realitas praksis dengan teori. Artinya teori di posisikan sebagai sebuah nilai pengetahuan yang netral tanpa ada keberpihakan terhadap kelompok yang terdominasi. Epistema positivis yang sperti itu kemudian menjadi indikasi munculnya gagasan kritis yang lahir dari kelompok Mazhab Frankfrut dengan dipelopori oleh Horkheimer, Adorno, Habermas, dll. Mereka menyambutnya dengan memposisikan teori atau pengetahuan yang dapat menembus realitas. Pengetahuan merupakan hasil dialegtis dari realitas dengan teori, sehingga adanya teori yang dihasilkan dari dialegtika tersebut harus memiliki nilai keberpihakan terhadap realitas yang timpang. Setidaknya aksi itu dapat meminimalisir adanya hegemoni kesaaran yang sampai hari ini masih didominasi oleh kesaaran positivistik. (Budhi Hardiman, Fransisco ; 2003 : 18)

Adapun gelanggang pengetahuan yang ada di Indonesia saat itu sempat terisi dengan para pemikir yang sering kali kita sebut dengan sapaan ‘Bung’. Semisal saja Bung Karno yang geli melihat penjajahan sampai akhirnya banyak mencipta karya tulisan lewat buku-bukunya seperti ‘Mencapai Indonesia Merdeka’ (ditulis pada maret 1933 di Bandung). Dimana bahasan pokok yang terdapat didalamnya yaitu tentang rakyat jelata Indonesia yang dalam perjalanan sejarah terus menerus mendapatkan penindasan oleh kalangan penjajah. Rakyat dijadikan sapi perah oleh kelompok kapitalisme-imperialisme eropa (Belanda) yang secara ekonomi selalu menghisap melalui sitem perekonomian yang memonopoli dan memaksa kita untuk berada di dekapan kepentingannya.(Sutrisno, Mudji ; 2005 : 16)

Maka dari itu menjadi penting bagi generasi yang hidup di orde karang (disadur dari lirik lagu 17 April-Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) ini untuk kemudian mencapai sebuah sintesa dari realitas kesejarahan pergulatan pemikiran para ‘Bung’ Indonesia yang tak menutup kemungkinan untuk disinergiskan dengan Ideologi-Ideologi besar dunia.

Kedepan dapat diharapkan adanya sebuah formulasi pemikiran yang dapat merubah kondisi bangsa melalui gerakan dimasing-masing lokus dan concernnya masing-masing. Mahsiswa dengan gerakan Intelektualnya, Lembaga Swadaya Masyarakat dengan gerakan advokasinya, Patai politik dengan gerakan politiknya , dll.

Kegundahan masyarakat akan terjawab dengan adanya evolusi yang mengarah pada perbaikan yang berbasiskan realitas praksis dan pergulatan pemikiran. Sejarah panjang ini kemudian akan dapat berakhir dengan kisah yang menyegarkan bagi kehidupan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Lalu, seberapa besar nyali kita untuk memulai semua itu? Dan adakah pelacakan terhadap kesejarahan bangsa yang tentunya bersamaan dengan penjelajahan pemikiran?

Jumat, 15 Februari 2008

Saya, TNI dan Bu Amir


Minggu kemarin, saya pergi ke ibu kota Indonesia, Jakarta. Ini merupakan pengalaman pertama bagi saya, menginjakkan kaki ini ke kota besar, yang selama ini menjadi pusat dari segala aktivitas pemerintah.

Ada beberpa hal yang menjadi inspirasi saya, sehingga saya berkeinginan untuk mencatat temuan fakta sosial selama saya menuju ke sana. Dari awal saya berangakat, dengan menaiki kereta api Matarmaja, terdapat hal yang sangat bermakna bagi kita semua untuk di refleksikan.

Kebetulan, di dalam kereta saya duduk di bangku yang berhadapan dengan dua orang tentara. Semula, ada keanehan secara psikologis dalam diri saya. Anggapan awal, saya khawatir bahwa, dengan duduk bersama dua orang yang berprofesi sebagai tentara itu-yang masih lengkap dengan seragam dorengnya membuat hati saya berkata; ’ wah, pasti dalam perjalanan nanti nuansa di kereta ini akan garing/beku. Karena yang pasti bapak ini (tentara) akan cuek bebek dengan saya. Dia kan terbiasa untuk tampil sebagai orang yang tegas tanpa senyum.’

Setelah beberapa menit kereta mulai menancap gasnya, ternyata malah mereka berdua yang memulai pembicaraan di antara kita berempat (dua orang tentara, saya sendiri dan satu teman saya). Dengan munculnya beberapa pertanyaan dan jawaban dari indentitas kita masing-masing, ternyata kitapun mulai saling mengenal satu sama lain.

Dan tidak lama kemudian, ternyata yang menjadi ke khawatiran saya dari awal itu, menjadi tidak terjdi. Karena, ternyata mereka juga grapyak dan bisa bersandah gurau dengan kami. Belum lagi cerita pengalaman meraka, terkait dengan fasilitas alat terjun Indonesia yang kurang canggih di bandingkan dengan di luar negri. Sekilas hati saya menyambut suasana itu dengan kata-kata; ‘ iya ya..tentara kan juga manusia’.

Dari fakta itu, kemudian saya merenungkan diri sejenak. Akhirnya, sayapun berkeyakinan bahwa, kondisi psikologis saya di awal tadi, terjadi karena adanya image tentara yang selama kepemimpinan orde baru selalu menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat indonesia, temasuk di dalamnya adalah saya. Sehingga, tak salah kalau sampai hari ini ketakutan kita terhadap orang yang berseragam doreng itu masih membekas.

Saya pun teringat di masa kecil saya, ketika hidup di kampung. Pada waktu itu, sangat melekat pada ingatan saya, bagaimana rasa ketakutan itu menghantui masyarakat, ketika ada beberapa tentara masuk desa kami. Meski mereka tidak mempunyai maksud untuk melakukan sesuatu yang kejam bagi kami, akan tetapi dengan mendengar bunyi gebrakan sepatu dari tentara saja, gemetar tubuh pasti mulai terasa. Artinya, masyarakat beranggapan bahwa, tentara merupakan aparat yang pasti bekerja untuk menyakiti masyarakat.

Image itu ada, karena ada beberapa fakta yang terjadi. Sebut saja tindakan TNI dalam memusnahkan kelompok simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun 1960-an. Atau bahkan tindakan TNI dalam mengamankan pemilu orde baru. Ada banyak fakta mengatakan, ketika ada sebagian orang yang mencoba secara vulgar berkampanye untuk kemenangan selain Paratai Golongan Karya (GOLKAR), maka dengan cepat TNI memproses lewat kewenangannya dengan cara yang tegas, baik tegas secara fisik maupun non -fisik.

Saling Menghargai
Selain TNI, ada banyak orang yang saya temui di dalam kereta. Tentu, dengan berbagai macam profesinya. Ada yang berprofesi sebagai penjual nasi, penjual kopi, penjual kacang, pengamen dan lain-lain. Ada juga yang berpenampilan seperti pengusaha kaya raya. Dari banyaknya warna identitas sosial dari orang yang berada di dalam kereta itu, membuat saya belajar atas kehidupan mereka masing-masing.

Di sebelah bangku saya, kebetulan ada seorang wanita keturunan Arab, duduk bersama seorang anak laki-lakinya. Bu Amir adalah sapaan saya setelah berkenalan dengannya. Belajar dari cara Bu Amir yang dengan ramah menemani saya bicara, ternyata saya dapat memberi penilaian yang cukup positif terhadapnya. Artinya, ketika ada orang yang mau membantu kita dengan cara yang sangat tulus, kita akan menghargai dan memberikan penilaian yang positif dengan tulus pula pada orang tersebut.

Selain menemani bicara, bu Amir juga sempat memberi roti tawar plus susu kentalnya, untuk dijadikan cemilan di sela-sela obrolan kami. Dan itu diberikan dengan wajah yang ramah, sehingga orang yang melihatnya merasa senang. Tak lama kemudian hujanpun sangat deras mengguyur kereta yang melaju sangat cepat.

Sementara, jendela bangku bu Amir tidak ada kaca yang dapat melindunginya dari tetesan air hujan itu. Karena bu Amir telah memberikan kebaikan kepada kami, maka secara spontan kami mempersilahkan bu Amir duduk di bangku kami yang masih cukup untuk di isi bu Amir beserta anaknya. Di sanalah sikap saling menghargai antara satu sama lain terjadi.

Tidak seperti politisi kita hari ini, dimana masyarakat sipil kurang mendapatkan penghargaan timbal balik darinya. Meskipun, banyak pengahargaan yang di berikan masyarakat lewat suaranya, namun banyak kebijakan strategis yang tidak menyentuh terhadap apa yang menjadi kepentingan publik hari ini. Ironisnya, kebijakan yang di buat masih saja mempertimbangkan kepentingan kelompok, bahkan dirinya secara pribadi.

Seandainya, sikap para politisi kita seperti halnya yang terjadi antara bu Amir dengan kami, maka bisa dipastikan kondisi Indonesia akan lebih baik. Hal itu bisa terjadi, ketika dalam membuat kebijakan, mereka mengingat atas amanah masyarakat, minimal yang menjadi konstituennya.