Rabu, 30 Juli 2008

PEJABAT SIBUK BERKAMPANYE


Pemilihan umum sudah tinggal beberapa bulan lagi. Setidaknya terdapat 34 partai politik yang sudah ditetapkan menjadi partai yang sah sebagai peserta dari pemilu 2009 nanti. Dari jumlah tersebut, terdapat beberapa partai politik baru yang cukup menegangkan kancah perpolitikan nasional. Karena gerakan politik (kampanye) dari partai tersebut tengah gencar dilakukan. Bahkan dari gerakan politik itu, masyarakat bisa langsung mengenal nama-nama partai beserta pemimpinnya dari sebagian partai baru itu. Itu pun terjadi jauh-jauh hari sebelum ketetapan partai yang sah mengikuti pemilu diumumkan.
 
Kalau dulu, biasanya masyarakat akan mendapatkan suguhan kampanye politik, ketika ketetapan waktu kampanye diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun saat ini meskipun waktu kampanye yang ditetapkan KPU baru saja ditetapkan, banyak partai politik yang melakukan kampanye di sebelum ketetapan itu ada. Kampanye merupakan sebuah gerakan politik yang berfungsi sebagai media transformasi nilai, sosialisasi visi-misi, sosialisasi kader partai dan ajakan untuk menjadi partisipan/konstituen dari partai politik. Tidak hanya partai politik, banyak lembaga sosial ataupun profesional lain yang sering menggunakan kata kampanye untuk mensosialisasikan program dan mengajak masyarakat untuk berpartisipasi atas program yang disosialisasikannya. 

Hiruk pikuk kampanye politik hari ini tengah banyak dilakukan, utamaya oleh pejabat publik. Banyak diantara mereka yang merelakan diri untuk mundur dari kursi jabatannya demi aktivitas kampanye politik partainya masing-masing. Bukan hanya sosialisasi partai semata, namun kampanye yang dilakukan juga untuk mensosialisasikan dirinya secara pribadi dalam menyambut pemilu 2009 nanti. 

Amanah publik yang seharusnya dipikul sampai akhir jabatan, sudah tidak menjadi tanggung jawab yang diperhatikan. Mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongannya dari pada memikirkan amanah publik atas tanggung jawabnya selama menajdi pejabat. 

Kepentingan publik sudah menjadi dinomorsekiankan dari prilaku politik pejabat dalam memenuhi kepentingan politiknya. Keterpurukan ekonomi dan persoalan masyarakat yang lainnya diabaikan demi karir politik yang akan diraih dalam PEMILU 2009 nanti. Lalu, bagaimana masa depan bangsa ini ketika prilaku pejabat publik tidak peduli lagi tehadap nasib publik?

 







TAK ADA UANG, TAK ADA PENDIDIKAN


Sangat memperihatinkan! Begitulah ungkapan yang paling tepat, ketika melihat kondisi pelayanan pemerintah terhadap pendidikan anak-anak Indonesia. Pelayanan yang kurang memberikan akses terhadap mereka yang kurang mampu masih saja mewarnai wajah buruk pemerintah dalam memberikan pelayanan untuk menanggulangi adanya putus sekolah. Jargon wajib sekolah 9 tahun, ternyata hanya menjadi iklan (komersialisasi) pendidikan semata tanpa diiringi dengan kebijakan yang strategis untuk menanggulangi jumlah anak-anak negeri yang tidak mampu melanjutkan sekolah sampai 9 tahun. Kebijakan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) ternyata juga tidak mampu untuk mengurangi jumlah anak jalanan yang masih memiliki status sebagai anak yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Lalu, kepada siapakah mereka harus mengadu?

Tentu hal ini menjadi keperihatinan kita bersama dalam melihat realitas pendidikan anak yang masih saja tidak ada keberpihakan terhadap masyarakat miskin di republik ini. Anak-anak yang semestinya dipersiapkan untuk menjadi pengganti mereka (kaum muda dan tua) di hari esok, saat ini malah dibiarkan terpuruk begitu saja. Tak jarang kita temukan adanya tindakan kriminal yang dilakukan oleh mereka yang masih berusia dibawah umur. Hal itu dapat dijadikan sebagai salah satu bukti bahwa tidak ada keperdulian dari pihak pengambil kebijakan dalam memberikan solusi atas kerisauan mereka dalam mejalani hidup ini. Sehingga pilihan hidupnya berujung pada tindakan yang tidak seharusnya dilakukan. Salah siapa semua ini? Tentu bukan sepenuhnya menjadi salah mereka dalam memilih jalan hidup yang seperti itu, karena keterjepitan ekonomi yang mereka alami memaksanya untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan oleh kita semua.

Tak ada uang, tak ada pendidikan. Itulah yang selama ini dirasakan oleh mereka yang benar-benar kurang mampu dalam membayar biaya pendidikan yang sangat mahal. Hal ini mengingatkan kita pada teori Darwinisme Sosial, dikatakannya bahwa dalam menjalani hidup ini, sudah menjadi hukum alam ketika yang kuat menjadi pemenang atas yang lemah. Para pengikut teori ini, beranggapan bahwa ketika manusia tidak dapat hidup survive di dunia ini, maka itu menjadi kesalahan mereka sendiri yang bermalas-malasan untuk melakukan persaingan dengan yang kuat dalam melakoni hidupnya. Ketika teori itu diterapkan, maka kata Thomas Hobbes: realitas kehidupan akan menjadikan manusia sebagai serigala bagi manusia yang lainnya (homo homini lupus).

Mari sejenak kita refleksikan, apa benar pejabat publik kita hari ini sebagai pengikut teori Darwinisme Sosial? Ketika itu benar, maka pastinya mereka akan menyalahkan atau membiarkan anak-anak jalanan yang putus sekolah, karena mereka tidak mampu survive menjalani hidupnya. Dan akan membanggakan kelompok kaya yang selalu bisa menikmati pendidikan, karena uangnya.