Jumat, 17 Oktober 2008

Cangkru'an Ilmiah


Saya baru saja datang dari cangkruan di depan kampus. Aktivitas cangkru'an sudah mentradisi di lingkungan mahasiswa UNMER (Universitas Merdeka) Malang. Tidak seperti halnya cangkru'an biasa, namun dari beberapa kelompok cangkru'an itu, ada banyak ragam aktivitas yang dilakukan. Dari aktivitas romantis (sepasang kekasih), ngobrol masalah kampus (tugas, dosen, dan lain-lain), sampai pada kelompok diskusi non formal. 

Nah kebetulan, yang sering saya lakukan adalah nyangkru' (rame-rame) dengan ditemani secangkir kopi sambil mendiskusikan sesuatu. Cangkru'an ilmiah, begitulah biasanya teman-teman menyebutnya. Hal ini memang terkesan remeh-temeh. Namun, ternyata dengan melakukan diskusi non formal ini-lah kita mampu mengasah nalar intelektual yang selama ini menjadi citra dari seorang mahasiswa.

Akhir-akhir ini, banyak orang yang mengeluh atas kualitas intelektual mahasiswa. Maka dari itu, penting kiranya keintelektualan mahasiswa ditumbuhkembahkan kembali. Salah satunya melalui cangkruan ilmiah seperti halnya di atas. 

Keluh kesah masyarakat atas intelektualitas mahasiswa, seharusnya menjadi cambuk tersendiri bagi kita atas tradisi intelektualitas kebangsaan hari ini. Karena biar bagaimana pun, realitas yang terjadi tidak bisa dilepaskan dengan kondisi bangsa yang semakin tak terarah. Dampaknya adalah tradisi berfikir kritis tak tercipta. Pejabat lebih disibukkan dengan persoalan politik an sich, dari pada menyoal tentang sitem pendidikan kritis mahasiswa. 

Mahasiswa hanya bisa merawat forum kultural untuk melatih nalar kritisnya, dari pada bergantung pada pendidikan in class yang ada di kampus. Maka tentunya kondisi ini seharusnya mendapat perhatian khusus bagi pihak pemerintah untuk lebih meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Sehingga gerakan intelektual yang formal, in formal dan non formal dapat berjalan seimbang sesuai dengan dinamika intelektual yang dibutuhkan mahasiswa.

Rabu, 08 Oktober 2008

Lebaran


Lebaran sudah kita lewati bersama. Momentum tersebut, bagaikan magnet yang memancing iman umat muslim untuk menyatakan maaf antar sesama. Kata maaf bagaikan ungkapan yang tak sulit lagi terucapkan. Para politisi, pasangan artis yang tengah bermasalah, dan kelompok-kelompok lain yang sedang bertikai pun sangat mudah mengatakan: Mohon maaf lahir dan bathin ya sob...

Saking seringnya mendapatkan ungkapan (baik langsung maupun tidak) maaf dari sahabat, teman, sodara dan lain-lain, diri saya menjadi tidak reflektif terhadap segala prilaku salah yang pernah dilakukan terhadap orang lain. Bahkan yang terjadi adalah berlomba-lomba untuk mengarang kata-kata bijak untuk dikirimkan/diungkapkan terhadap orang spesial yang saya kenal. Apakah hal ini juga terjadi pada diri anda?

Di sisi lain, ada banyak oknum maupun kelompok yang diuntungkan dalam momentum lebaran ini. Sopir biz tentu akan panen uang, karena banyak pemudik yang antri menjadi penumpang tanpa diajak oleh sang kondiktur biz yang bersangkutan. Makelar tiket pesawat lebih mudah menjual tiketnya, tanpa sulit-sulit mencari calon pembeli seperti hari-hari biasanya. Dan tak ketinggalan dengan pembisnis pakaian, mereka sangat amat diuntungkan di hari kemenangn ini.

Kata maaf di hari yang fitri itu, ternyata banyak membutuhkan modal dalam penyambutannya. selain mempersiapkan pulsa untuk maaf-maafan via SMS, juga sudah menjadi tradisi bahwa lebaran juga akan lebih sempurna ketika mengenakan pakaian baru dalam prosesi perayaannya.

Lalu, benarkah ketika ada yang mengatakan bahwa lebaran yang dijadikan sebagai momentum untuk saling bermaaf-maafan ini hanyalah berjalan dengan cara yang ceremonial saja, yang didalamnya tidak begitu bermakna seperti halnya kata maaf yang dikeluarkan oleh kita semua?