Sabtu, 16 Agustus 2008

Putri Indonesia 2008


Ada cerita menarik yang ingin saya ceritakan dalam tulisan ini. Malam Sabtu kemarin (15/08/08) saya bersama sahabat-sahabat lagi diskusi kultural di warung kopi (WARKOP) lesehan milik seorang sahabat. Ada sekitar 5 sampai 7 orang yang terlibat dalam forum itu. Kebetulan, WARKOP yang kami tempati terdapat fasilitas televisi. Sehingga di sela-sela diskusi berlangsung, mata kami sempat mencuri perhatian ke televisi. Kebetulan ketika itu ada acara kontes Putri Indonesia 2008. Tentu kita tahu bahwa pengikutnya cewek-cewek sembloheh gitu deh..he..he

Curi-curi pandang.....Begitulah kiranya aksi yang dilakukan peserta diskusi. Saya sempat berfikir: Ternyata perempuan mampu menghentikan semangat untuk belajar. Padahal itu hanya sekedar gambar (visual) saja. Kenapa para kaum adam masih terobsesi untuk menontonnya ya...

Semangat untuk mempertajam nalar intelektual sempat terganggu dengan aksi para kontestan Putri Indonesia itu. Bagaimana nalar kritis bisa terasah, ketika para kaum muda seperti kami masih mementingkan tontonan 'naif'', dari pada melacak realitas dengan kritis?hehe

Konstruk media massa atas kecantikan perempuan, memang strategis untuk membentuk kesadaran kaum adam seperti kami. Saya tidak yakin, ketika kontestan Putri Indonesia terdiri dari orang-orang seperti omas dapat memancing lirikan mata kami seperti halnya yang terjadi pada waktu kemarin.

Artinya, kaum adam saat ini memaknai kecantikan dengan kriteria fisik yang sama seperti halnya Luna Maya (kulit putih, rambut lurus, dll). Betapa kuasanya media mengendalikan kesadaran umat manusia. Begitulah kaum Kapitalis memainkan strateginya. 

Rabu, 13 Agustus 2008

Momentum Kemerdekaan!!!


Pada tanggal 17 Agustus 2008 ini Indonesia akan berusia 63 tahun. Di usia yang sudah cukup tua itu, tentu akan menggugah semangat perubahan bagi kita semua dalam melihat masa depan bangsa. Semangat perubahan itu tidak akan pernah ada tanpa melalui proses belajar atas perjalanan sejarah pergerakan bangsa ini. Maka dari itu penting kiranya bagi kaum masa kini untuk selalu merefleksikan hari kemerdekaan ini sebagai cambuk pergerakan dalam melihat realitas kebangsaan di masa kini dan menatap masa depan Indonesia. Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indesia (NKRI) adalah harga mati. Kedaulatan bangsa adalah satu-satunya solusi dalam menjawab segala bentuk persoalan yang terjadi di masa kini.

Komitmen kesatuan dan persatuan bangsa dalam mengusir penjajah merupakan momentum sejarah yang harus dijamah untuk kemudian memunculkan semangat nasionalisme hari ini. Dengan bermodalkan bambu runcing dan gagasan yang revolusioner rakyat Indonesia mampu bersatu padu meneriakkan perubahan untuk merdeka. Padahal, seperti apa yang kita ketahui bersama bahwa Indonesia memilki keragaman di segala hal. Baik keragaman budaya, agama, kepercayaan, ras dan lain-lain. Maka menjadi keistimewaan ketika pada waktu itu rakyat Indonesia mampu bersatu padu dalam bingkai NKRI di atas keragaman tersebut.

Setelah Indonesia merdeka, semangat perubahan masih menjadi komitmen bersama dalam membangun bangsa ini. Nilai-nilai ideoligis selalu terinternalisasi dalam denyut perjuangan membangun bangsa. Hal itu bisa dilihat bagaimana Soekarno meneriakkan semangat kemandirian bangsa, bagaimana Hatta merumuskan konsep perekonomian kerakyatan (koperasi), bagaimana Tan Malaka menggugah adanya revolusi total, dan masih banyak lagi tokoh pergerakan yang lainnya dalam memberikan sumbangsih pemikirannya untuk Indonesia tercinta.

Bahkan di era orde lama, Indonesia sempat ikut mewarnai dinamika politik Internasional. Dengan gerakan non blok yang dipelopori oleh Soekarno, Indonesia pada kala itu menjadi Negara yang cukup diperhitungkan dalam perseteruan blok barat dan blok timur. Ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kekayan nilai dan nyali pergerakan dalam melakukan pertarungan politik dalam kancah International. Tidak ada kata takut selagi denyut jantung masih bergetar, begitulah kiranya sedikit gambaran semangat pergerakan Bung Karno dan kawan-kawan dalam mewujudkan perubahan. Hanya satu kata : Indonesia, itulah semangat nasionalisme yang selalu tercerap dalam pori-pori sejarah kebangsaan di masa lalu.

Namun harapannya kita tidak terjebak pada romantisme masa lalu, sehingga lalai dalam memperkuat komitmen kebangsaan di masa kini. Ketika kita lihat realitas kebangsaan saat ini, memang sangat memprihatinkan. Kedaulatan bangsa yang pernah ada di masa lalu sudah mulai terkikis adanya. Pancasila yang disepakati sebagi ideologi bangsa, hanya menjadi pajangan di setiap ruangan formal para pejabat publik kita. UUD 1945 diperdebatkan untuk meraup kekuasaan semata, tanpa difungsikan sebagai sentrum konstitusi dalam membangun bangsa.

Kekayaan yang kita miliki musnah seiring dengan eksploitasi bangsa asing terhadap sumber daya alam Indonesia. Kita saat ini hanya bisa menjadi budak bagi bangsa lain. kekuatan neoliberalisme telah memporakporandakan karakter kemandirian bangsa. Kemutakhiran kapitalisme lanjut telah berhasil membuat kesadaran bangsa ini menjadi kesadaran yang naif. Sehingga kita selalu pasrah atas persoalan yang terjadi, kita selalu beranggapan bahwa persoalan ini sudah kronis dan tidak akan ada solusi untuk keluar dari lingkaran penjajahan gaya baru ini.

Sistem pemerintahan pun carut marut, warnanya. Hal itu berdampak terhadap realitas kebangsaan secara menyeluruh. Sebut saja adanya konsep otonomi daerah, otonomi daerah tidak lantas dijadikan sebagai system pemerintahan yang memberikan peluang bagi daerah untuk lebih bebas melakukan manajemen pemerintahan dalam mengelolah daerahnya masing-masing. Namun otonomi daerah saat ini dijadikan sebagai wahana eksplotatif terhadap kekayaan daerah oleh pejabat-pejabat daerah tanpa intervensi dari pemerintah pusat. Karakter para pemimpin bangsa yang selalu mengutamakan kepentingan pribadinya berdampak terhadap komitmen rakyat Indonesia dalam memperkokoh kedaulatan bangsa. Pemimpin bangsa yang tidak pernah memperdulikan bangsanya sudah menjadi trand lidership Indonesia hari ini. Sehingga Negara yang sejahtera (welfare State) sementara ini masih menjadi harapan semata.


Gerakan Anti Korupsi Oleh Mahasiswa


Fenomena tindak korupsi di bangsa ini sudah tidak menjadi hal yang tabu lagi. Hampir setiap hari kita melihat di pemberitaan media massa yang memuat tentang penangkapan para koruptor. Produktivitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memperjuangkan negara yang anti korupsi akhir-akhir ini lumayan terasa. Namun masih saja kita belum sepenuhnya puas akan kinerja mereka. Karena, masih banyak pecandu tindakan korupsi kelas kakap yang berkeliaran tanpa ada penanganan serius dari pihak KPK untuk memenjarakan mereka.

Tindakan korupsi saat ini tidak hanya terjadi di likungan elit semata, namun di masyarakat bawah pun juga tengah menjamur. Hal ini disebabkan dengan semakin terbiasanya kita mendengar kata korupsi lewat media massa maupun dalam bahasan di setiap forum-forum dialog. Sehingga masyarakat menggap tindakan korupsi dengan biasa-biasa saja.

Konstruk media informasi terhadap kesadaran masyarakat dalam konteks tindakan korupsi sangatlah efektif. Seperti yang dikemukakan oleh Prof Dr Thamrin Abdullah dalam sebuah artikelnya di SINDO senin (04/08), kalau kita membaca koran atau menonton televisi, hampir dipastikan bahwa selalu ada tayangan atau publikasi tentang korupsi, mulai dari yang kelas bawah sampai pada kelas atas (baca: elit). Korupsi ini seolah-olah sudah lumrah. Saking banyaknya koruptor yang ditangkap, diadili, didakwa, dan dihukum akhirnya orang biasa saja kalau menonton tayangan tentang korupsi. Dengan demikian, orang yang melakukan korupsi pun merasa seperti biasa-biasa saja.

Melihat realitas yang seperti itu, maka peran mahasiswa sangat dibutuhkan. Untuk kemudian dapat menciptakan pengaruh tandingan dari apa yang sudah menjadi pengaruh media massa terhadap kesadaran masyarakat. Setidaknya peran mahasiswa dapat dipilah menjadi dua bagian. Pertama peran dengan sistem yang top down dan keuda peran bisa dilakukan dengan sistem yang buttom Up. Top down artinya bagaimana peran mahasiswa sebagai midle class (kelas menengah) Mampu memberikan pressure terhadap kalangan atas yang masih saja belum jerah melakukan tindakan korupsi. Adapun gerakan buttom up yang dimaksud adalah mengembalikan gerakan mahasiswa untuk kalangan bawah. Artinya bagaimana mahasiswa dapat memberikan pendidikan yang kritis terhadap masyarakat dalam memaknai realitas prilaku pejabat publik atas tindakan korupsinya. Bahwa tindakan tersebut merupakan sebuah perilaku yang harus dihindari dan dilawan secara massif. Dengan begitu mahasiswa akan memiliki peran sebagai kelompok yang secara konsisten menyebarkan kesadaran terhadap semua kalangan. Utamanya dalam konteks pemberantasan atas tindakan korupsi.

Selasa, 12 Agustus 2008

Cerita Operasi Lalu Lintas


Tiba-tiba saja aku melihat sekumpulan polisi di jalan itu. Lalu jantungku spontan deg-degan. Huh kena lagi....(bicaraku dalam hati). Ternyata mereka tidak mengoperasi sepeda motor. Namun, target mereka kendaraan beroda empat. Aku langsung merasa legah. Dan setibanya di tempat tujuan, sejenak aku merefleksikan diri: Ternyata pak polisi bikin orang deg-degan juga ya...Padahal mereka kan ga berkepentingan sama aku...Kenapa? Apa mungkin karena saya yang sering melanggar aturan lalu lintas. Juga bisa jadi image polisi itu sendiri yang menakutkan bagi masyarakat sipil sepertiku. 

Setelah aku melakukan refleksi itu, ternyata ada seorang sahabat yang telah menjadi korban dari operasi lalu lintas yang aku ceritakan di atas. Sebut saja namanya Kang Toto. Setelah beliau bercerita tentang tragedi yang menimpanya itu, lalu Kang Vivi memotong cerita dengan pertanyaan: Kena berapa mas?. Celakanya yang menjawab pertanyaan tersebut bukan Kang Toto. Namun, Kang Sa'ie yang segera bersuara dengan celetukan: Dasar otakmu itu.....Yang namanya kena tilang itu ya berurusan dengan pengadilan. Kan itu urusan hukum. Belum apa-apa sudah bilang kena berapa....Kang vivi menjawab celetukan itu: Kan realitasnya, ketika ada yang kena tilang langsung membayar ke polisi yang menilang?. Ini bukan persoalan realitas yang seperti itu, namun masalah otak kamu, sambut Kang Sa'ie.....Lalu semua tertawa (hahaha) 

Minggu, 03 Agustus 2008

Indahnya Perbedaan Tanpa Kekerasan


Malam ini jarum jam menunjukkan pukul 00.11 WIB. Di hari minggu tanggal 3 Agustus tahun 2008 ini mata saya masih saja sulit untuk dipejamkan menikmati indahnya tidur di dini hari. Kesulitan untuk memejamkan mata pada jam segitu tidak hanya terjadi saat ini, namun hal ini sering saya alami semenjak mata ini dibiasakan untuk terbuka sampai pagi hari. Memang tidak selamanya saya selalu membuka mata sampai larut pagi, namun aktivitas malam sampai larut pagilah yang membiasakan mata ini terbuka.

Ketika saya masih hidup di kampung halaman (sebelum kuliah), mata ini sering terpejamkan di jam-jam malam sekitar pukul 9 malaman. Karena pada waktu itu, sangat jarang aktivitas yang saya jalani sampai pada larut pagi seperti halnya yang saya alami saat ini. Dari pengalaman hidup saya itu, maka saya sedikit memiliki benag merah bahwa semuanya yang berkenaan dengan dinamika hidup salah satunya tergatung pada kebiasaan. Kebiasaan dalam beraktivitas, berprilaku dan lain-lain.

Saya juga sempat ingat pada kebiasaan sebagian teman yang terbiasa menggunakan tangan kirinya untuk melakukan aktivitas hidupnya. Tangan kiri itu seringkali digunakan ketika memakan sesuatu, memacul, main tenis, dan aktivitas lain yang membutuhkan tenaga lebih. Ada juga teman yang menghisap telunjuk tangannya ketika ngelamun. Bahkan ada juga teman yang merasakan nikmatnya makanan ketika bumbu dari makanan tersebut menggunakan bahan penyedap (micin).

Dari beberapa kebiasaan yang saya sebutkan di atas tentu tidak seperti halnya kebiasaan masyarakat secara umum. Bahkan sebagian dari masyarakat memaknai kebiasaan di atas sebagai kebiasaan yang buruk. Artinya, segala aktivitas kita yang tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat secara umum, masih saja menjadi tabu di lingkungan masyarakat itu sendiri. Ketika sedikit saya mengingat persepsi masyarakat di kampung saya, melihat pemuda yang tidur di jam-jam dini hari, maka persepsi masyarakat pada pemuda tersebut beranggapan bahwa itu adalah pemuda yang nakal, yang senang kelayapan di malam hari. Begitu pula dengan sebagian orang yang memakai tangan kirinya untuk memakan sesuatu, maka masyarakat beranggapan bahwa aktivitas itu tidak baik (ga ilo’), dan lain-lain. 

Padahal kita tahu bahwa alasan dari sebagian masyarakat yang tidak menggunakan kebiasaan masyarakat secara umum itu tidak lagi berbicara tentang baik dan buruk. Namun lebih pada sebuah kenikmatan, ketenangan dan alasan-alasan lain yang pastinya alasan tersebut tidak mengganggu kebiasaan yang berbeda dengan dirinya. Ada prilaku yang saling menghargai atas perbedaan yang terjadi dalam kebiasaan orang dalam beraktivitas. Lalu dimana letak kesalahannya?

Ironisnya, ada sebagian golongan dari msayarakat kita menyikapi perbedaan yang terjadi dengan aksi kriminal. Sebut saja perbedaan dalam berkeyakinan, tak jarang kita temukan aksi kriminal antar golongan yang memiliki perbedaan dalam berkeyakinan. Tidak hanya dalam berkeyakinan, praktisi politik kita pun menanggapi perbedaan dalam menentukan sikap politiknya masing-masing dengan aksi pukul-pukul. Kita tentu ingat bahwa di gedung wakil rakyat juga sering menggonakan aksi kekerasan dalam menyelesaikan persoalan. Sampai-sampai KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengatakan bahwa isi dari gedung DPR tersebut memiliki karakter seperti halnya taman kanak-kanak. Sungguh memalukan!
  

Dari sedikit deskripsi kehidupan di atas, saya sedikit memiliki harapan besar agar suatu saat nanti masyarakat kita lebih menghargai adanya sebuah perbedaan. Selagi perbedaan tersebut tidak berpotensi menimbulkan aksi kriminal maupun aksi kekerasan fisik yang merugikan satu sama lainnya, maka kadikanlah perbedaan itu sebagai bunga-bunga kehidupan yang bisa diambil hikmahnya. Alangkah indahnya ketika setiap perbedaan yang terjadi dalam hidup ini dapat diselesaikan dengan jalan yang dialogis, harmonis dan rasional. Bukan pukul-pukulan! 


Sabtu, 02 Agustus 2008

Si Bebi: Realitas Hidup yang Dinamis


Terkadang hidup ini terasa menakjubkan, takjub karena kedinamisan hidup yang luar biasa. Ketakjuban dalam hidup terkadang terasa dalam diri kita yang masih saja sering memposisikan hidup seperti halnya tombol televisi, ketika dipencet tombol yang berwarna merah, maka dengan sendirinya televisi kita akan hidup. Hal itu ternyata tidak, pada hidup. hidup kita sebagai manusia sangat dinamis. Tak jarang ketika kita mengharapkan sesuatu atas prilaku kita sehari-hari, harapan tersebut tidak terjadi. Itulah salah satu contoh kehidupan manusia yang dinamis.

Bingung ya...gampangnya seperti ini...ketika kecil kita bercita-cita untuk menjadi dokter, ternyata cita-cita tersebut belum bisa menjadi jaminan atas masa depan kita, bahwa masa depan kita pasti akan menjadi dokter. Berbeda dengan hitung-hitungan matematis, dimana yang namanya satu tambah satu akan mengahsilkan dua. Namun di zaman sekarang, peradaban tengah melilit kita dengan pengetahuan yang membuat hidup kita menjadi statis. Bahkan kita tidak bisa menghindar atas kepungan pengetahuan yang memiliki epistema yang seperti itu. Adapun tokoh yang menjadi pelopor atas lahirnya pengetahuan tersebut adalah August Comte, ia mencoba menggabungkan antara ilmu eksakta dengan ilmu sosial. Sehingga dalam melihat realitas kehidupan sosial bisa diteropong melalui perhitungan statistik. Salah satu turunan dari pemikiran tersebut, menghasilkan metode penelitian kuantitatif yang saat ini banyak digunakan oleh para peneliti di Indonesia, bahkan dunia.

Untuk membuktikan sebuah kasus sosial bisa dilacak oleh logika statistik. Maka dinamika hidup menurut perspektif positivismenya A. Comte bisa diketahui melalui perhitungan fisika, kimia dan matematika. Karena hidup itu pasti ada sebab dan akibatnya (kausalitas), sehingga logika hidup, sama halnya dengan logika perhitungan.

Posisi pengetahuan di era positivis ini akan menjadi netral. Pengetahuan hanya menjadi detektif realitas tanpa ada solusi menangani realitas tersebut. Hal itulah yang kemudian direspon kelompok pemikir kritis. Mereka beranggapan bahwa pengetahuan yang kita miliki dan kita yakini sebagai kebenaran harus berpihak terhadap realitas yang timpang. Karena degan keberpihakan tersebut pengetahuan dapat terasa manfaatnya dalam menjawab penindasan yang terjadi di masyarakat.

Namun tanpa saya harus bahas panjang lebar proses dialektika para pemikir positivis dan kritis, mari kita sejenak merefleksikan hidup kita sehari-hari. Apakah benar bahwa hidup kita statis? Atau barangkali kita merasakan hidup ini sangat dinamis? Ingat, bahwa kita hidup juga terdapat bahasa didalamnya. Dimana bahasa memiliki sejuta makna yang dinamis. Maka kalau begitu bisakah kita sebut bahwa bahasa yang kita pakai memiliki logika statistik seperti yang dikatakan kelompok positivis? Contoh sederhana: apakah makna dari bahasa yang mengatakan jancok (kata-kata jorok dalam bahasa jawa) dapat dimaknai jorok selamanya? Ternyata hal itu tidak pada teman saya, sebut saja namanya bebi, dia memanggil Ibunya dengan sebutan jancok. Namun makna jancok bagi si bebi bukan identik dengan kata-kata kotor seperti halnya pemaknaan masyarakat jawa pada umumnya terhadap kata jancok. Setelah saya tanyakan makna jancok bagi si bebi, ia mengatakan bahwa jancok bagi saya tidak memiliki makna apa-apa. Ya hanya simbol/bahasa untuk memanggil orang yang kita kenal dekat.

Lalu, ketika melihat realitas seperti yang terjadi pada bebi itu, bisakah kita memaknai hidup ini statis seperti halnya tombol televisi yang saya ceritakan di atas