Sabtu, 02 Agustus 2008

Si Bebi: Realitas Hidup yang Dinamis


Terkadang hidup ini terasa menakjubkan, takjub karena kedinamisan hidup yang luar biasa. Ketakjuban dalam hidup terkadang terasa dalam diri kita yang masih saja sering memposisikan hidup seperti halnya tombol televisi, ketika dipencet tombol yang berwarna merah, maka dengan sendirinya televisi kita akan hidup. Hal itu ternyata tidak, pada hidup. hidup kita sebagai manusia sangat dinamis. Tak jarang ketika kita mengharapkan sesuatu atas prilaku kita sehari-hari, harapan tersebut tidak terjadi. Itulah salah satu contoh kehidupan manusia yang dinamis.

Bingung ya...gampangnya seperti ini...ketika kecil kita bercita-cita untuk menjadi dokter, ternyata cita-cita tersebut belum bisa menjadi jaminan atas masa depan kita, bahwa masa depan kita pasti akan menjadi dokter. Berbeda dengan hitung-hitungan matematis, dimana yang namanya satu tambah satu akan mengahsilkan dua. Namun di zaman sekarang, peradaban tengah melilit kita dengan pengetahuan yang membuat hidup kita menjadi statis. Bahkan kita tidak bisa menghindar atas kepungan pengetahuan yang memiliki epistema yang seperti itu. Adapun tokoh yang menjadi pelopor atas lahirnya pengetahuan tersebut adalah August Comte, ia mencoba menggabungkan antara ilmu eksakta dengan ilmu sosial. Sehingga dalam melihat realitas kehidupan sosial bisa diteropong melalui perhitungan statistik. Salah satu turunan dari pemikiran tersebut, menghasilkan metode penelitian kuantitatif yang saat ini banyak digunakan oleh para peneliti di Indonesia, bahkan dunia.

Untuk membuktikan sebuah kasus sosial bisa dilacak oleh logika statistik. Maka dinamika hidup menurut perspektif positivismenya A. Comte bisa diketahui melalui perhitungan fisika, kimia dan matematika. Karena hidup itu pasti ada sebab dan akibatnya (kausalitas), sehingga logika hidup, sama halnya dengan logika perhitungan.

Posisi pengetahuan di era positivis ini akan menjadi netral. Pengetahuan hanya menjadi detektif realitas tanpa ada solusi menangani realitas tersebut. Hal itulah yang kemudian direspon kelompok pemikir kritis. Mereka beranggapan bahwa pengetahuan yang kita miliki dan kita yakini sebagai kebenaran harus berpihak terhadap realitas yang timpang. Karena degan keberpihakan tersebut pengetahuan dapat terasa manfaatnya dalam menjawab penindasan yang terjadi di masyarakat.

Namun tanpa saya harus bahas panjang lebar proses dialektika para pemikir positivis dan kritis, mari kita sejenak merefleksikan hidup kita sehari-hari. Apakah benar bahwa hidup kita statis? Atau barangkali kita merasakan hidup ini sangat dinamis? Ingat, bahwa kita hidup juga terdapat bahasa didalamnya. Dimana bahasa memiliki sejuta makna yang dinamis. Maka kalau begitu bisakah kita sebut bahwa bahasa yang kita pakai memiliki logika statistik seperti yang dikatakan kelompok positivis? Contoh sederhana: apakah makna dari bahasa yang mengatakan jancok (kata-kata jorok dalam bahasa jawa) dapat dimaknai jorok selamanya? Ternyata hal itu tidak pada teman saya, sebut saja namanya bebi, dia memanggil Ibunya dengan sebutan jancok. Namun makna jancok bagi si bebi bukan identik dengan kata-kata kotor seperti halnya pemaknaan masyarakat jawa pada umumnya terhadap kata jancok. Setelah saya tanyakan makna jancok bagi si bebi, ia mengatakan bahwa jancok bagi saya tidak memiliki makna apa-apa. Ya hanya simbol/bahasa untuk memanggil orang yang kita kenal dekat.

Lalu, ketika melihat realitas seperti yang terjadi pada bebi itu, bisakah kita memaknai hidup ini statis seperti halnya tombol televisi yang saya ceritakan di atas