Jumat, 15 Februari 2008

Saya, TNI dan Bu Amir


Minggu kemarin, saya pergi ke ibu kota Indonesia, Jakarta. Ini merupakan pengalaman pertama bagi saya, menginjakkan kaki ini ke kota besar, yang selama ini menjadi pusat dari segala aktivitas pemerintah.

Ada beberpa hal yang menjadi inspirasi saya, sehingga saya berkeinginan untuk mencatat temuan fakta sosial selama saya menuju ke sana. Dari awal saya berangakat, dengan menaiki kereta api Matarmaja, terdapat hal yang sangat bermakna bagi kita semua untuk di refleksikan.

Kebetulan, di dalam kereta saya duduk di bangku yang berhadapan dengan dua orang tentara. Semula, ada keanehan secara psikologis dalam diri saya. Anggapan awal, saya khawatir bahwa, dengan duduk bersama dua orang yang berprofesi sebagai tentara itu-yang masih lengkap dengan seragam dorengnya membuat hati saya berkata; ’ wah, pasti dalam perjalanan nanti nuansa di kereta ini akan garing/beku. Karena yang pasti bapak ini (tentara) akan cuek bebek dengan saya. Dia kan terbiasa untuk tampil sebagai orang yang tegas tanpa senyum.’

Setelah beberapa menit kereta mulai menancap gasnya, ternyata malah mereka berdua yang memulai pembicaraan di antara kita berempat (dua orang tentara, saya sendiri dan satu teman saya). Dengan munculnya beberapa pertanyaan dan jawaban dari indentitas kita masing-masing, ternyata kitapun mulai saling mengenal satu sama lain.

Dan tidak lama kemudian, ternyata yang menjadi ke khawatiran saya dari awal itu, menjadi tidak terjdi. Karena, ternyata mereka juga grapyak dan bisa bersandah gurau dengan kami. Belum lagi cerita pengalaman meraka, terkait dengan fasilitas alat terjun Indonesia yang kurang canggih di bandingkan dengan di luar negri. Sekilas hati saya menyambut suasana itu dengan kata-kata; ‘ iya ya..tentara kan juga manusia’.

Dari fakta itu, kemudian saya merenungkan diri sejenak. Akhirnya, sayapun berkeyakinan bahwa, kondisi psikologis saya di awal tadi, terjadi karena adanya image tentara yang selama kepemimpinan orde baru selalu menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat indonesia, temasuk di dalamnya adalah saya. Sehingga, tak salah kalau sampai hari ini ketakutan kita terhadap orang yang berseragam doreng itu masih membekas.

Saya pun teringat di masa kecil saya, ketika hidup di kampung. Pada waktu itu, sangat melekat pada ingatan saya, bagaimana rasa ketakutan itu menghantui masyarakat, ketika ada beberapa tentara masuk desa kami. Meski mereka tidak mempunyai maksud untuk melakukan sesuatu yang kejam bagi kami, akan tetapi dengan mendengar bunyi gebrakan sepatu dari tentara saja, gemetar tubuh pasti mulai terasa. Artinya, masyarakat beranggapan bahwa, tentara merupakan aparat yang pasti bekerja untuk menyakiti masyarakat.

Image itu ada, karena ada beberapa fakta yang terjadi. Sebut saja tindakan TNI dalam memusnahkan kelompok simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun 1960-an. Atau bahkan tindakan TNI dalam mengamankan pemilu orde baru. Ada banyak fakta mengatakan, ketika ada sebagian orang yang mencoba secara vulgar berkampanye untuk kemenangan selain Paratai Golongan Karya (GOLKAR), maka dengan cepat TNI memproses lewat kewenangannya dengan cara yang tegas, baik tegas secara fisik maupun non -fisik.

Saling Menghargai
Selain TNI, ada banyak orang yang saya temui di dalam kereta. Tentu, dengan berbagai macam profesinya. Ada yang berprofesi sebagai penjual nasi, penjual kopi, penjual kacang, pengamen dan lain-lain. Ada juga yang berpenampilan seperti pengusaha kaya raya. Dari banyaknya warna identitas sosial dari orang yang berada di dalam kereta itu, membuat saya belajar atas kehidupan mereka masing-masing.

Di sebelah bangku saya, kebetulan ada seorang wanita keturunan Arab, duduk bersama seorang anak laki-lakinya. Bu Amir adalah sapaan saya setelah berkenalan dengannya. Belajar dari cara Bu Amir yang dengan ramah menemani saya bicara, ternyata saya dapat memberi penilaian yang cukup positif terhadapnya. Artinya, ketika ada orang yang mau membantu kita dengan cara yang sangat tulus, kita akan menghargai dan memberikan penilaian yang positif dengan tulus pula pada orang tersebut.

Selain menemani bicara, bu Amir juga sempat memberi roti tawar plus susu kentalnya, untuk dijadikan cemilan di sela-sela obrolan kami. Dan itu diberikan dengan wajah yang ramah, sehingga orang yang melihatnya merasa senang. Tak lama kemudian hujanpun sangat deras mengguyur kereta yang melaju sangat cepat.

Sementara, jendela bangku bu Amir tidak ada kaca yang dapat melindunginya dari tetesan air hujan itu. Karena bu Amir telah memberikan kebaikan kepada kami, maka secara spontan kami mempersilahkan bu Amir duduk di bangku kami yang masih cukup untuk di isi bu Amir beserta anaknya. Di sanalah sikap saling menghargai antara satu sama lain terjadi.

Tidak seperti politisi kita hari ini, dimana masyarakat sipil kurang mendapatkan penghargaan timbal balik darinya. Meskipun, banyak pengahargaan yang di berikan masyarakat lewat suaranya, namun banyak kebijakan strategis yang tidak menyentuh terhadap apa yang menjadi kepentingan publik hari ini. Ironisnya, kebijakan yang di buat masih saja mempertimbangkan kepentingan kelompok, bahkan dirinya secara pribadi.

Seandainya, sikap para politisi kita seperti halnya yang terjadi antara bu Amir dengan kami, maka bisa dipastikan kondisi Indonesia akan lebih baik. Hal itu bisa terjadi, ketika dalam membuat kebijakan, mereka mengingat atas amanah masyarakat, minimal yang menjadi konstituennya.