Selasa, 22 Juli 2008

Demokrasi Untuk Bapak



Saya heran atas ungkapan seorang teman, sebut saja namanya Bokir, yang mengatakan bahwa penggunaan hak pilihnya dalam Pemilihan Gubernur (PILGUB) di hari Rabu besok (23/07/08), dilakukan hanya karena alasan menghargai Bapaknya. Bapak dari teman saya itu dikampungnya sebagai takmir Masjid. Apa kata orang kalau saya tidak ikut nyoblos di PILGUB nanti. Ungkapnya sambil geleng-geleng kepala (saya ga tau apa itu simbol dari penyesalan dia sebagai anak seorang takmir Masjid atau hanya sekedar olah raga tulang leher semata) .


Tidak hanya si Bokir, akan tetapi banyak anak muda (khususnya mahasiswa) yang bersikap acuh tak acuh terhadap Pemilihan Umum (PEMILU) yang katanya memakan biaya yang cukup besar itu. Padahal PEMILU adalah salah satu prosedur penerapan sistem demokrasi. Demokrasi adalah sebuah nilai yang menghendaki adanya kebebasan/kadaulatan rakyat dalam menentukan pilihan, mencurahkan pendapat/pemikran, dll. Maka seharusnya PEMILU dapat memacu partisipasi masyarakat sepenuhnya, termasuk patisipasi kalangan muda.


Agenda sosialisasi PEMILU sudah dilakukan dengan maksimal oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun banyaknya agenda sosialisasi itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap si Bokir dan pemuda lain untuk menggunakan hak pilihnya dengan kesadarannya sendiri. Ironisnya, meskipun ada orang yang seperti si Bokir dalam realitas demokrasi Indonesia, pemerintah tidak menjadikannya sebagai bahan evaluasi yang cukup serius. Bahkan Indonesia dengan penerapan sitem PEMILU seperti yang kita rasakan saat ini dicap sebagai Negara yang sangat demokrastis di dunia.


Menurut hemat saya, kita seringkali memaknai demokrasi lewat prosedurnya saja. Akan tetapi tidak melihat lebih jauh, bagaimana kesadaran masyarakat dalam penerapan prosedur demokrasi tebut. Sehingga demokrasi kita hari ini lebih pada corak demokrasi proseduran, namun tidak substansial. ya ga bro?