Senin, 10 Maret 2008

‘Merdeka’ bukan hanya ‘Ceria’


Tanggal 17 Agustus merupakan momentum yang selalu membuat rakyat Indonesia merenungi sekaligus merayakan hari kemerdekaan Repulik Indonesia. Di semua lini pasti kita temukan lampu warna-warni yang dihias dengan berbagai macam keindahan artistik dari desaign perayaan kemerdekaan. Bendera merah putih pun berkibar disetiap sudut desa sampai ke kota di negara kita ini. Semua itu dilakukan dengan penuh keceriaan. Artinya, betapa hegemoniknya momentum tersebut terhadap kesadaran bangsa ini dalam memaknai sebuah sejarah kemerdekaan. Apa benar mereka sedah memaknai kemerdekaan dalam perspektif yang kritis? Atau jangan-jangn kemerdekaan masih dianggap sebagai sebuah peristiwa seremoni atas pembacaan proklamai Soekarno tempo itu?

Dan pertanyaan yang sangat sulit terjawab oleh kita hari ini adalah, Apakah benar hari ini kita sudah tidak terjajah lagi?. Mungkin jawabannya, iya ketika memang sistem kebangsaan kita (ekonomi, politik, sosial dan budaya) benar-benar mampu berdiri di atas daulat bangsa sendiri. Namun, apa iya semua itu terjadi untuk konteks bangsa hari ini?. Hal itu tentu mengingatkan kita pada statment Karl jespers, bahwa kita masih merdeka dalam arti ‘hidup’ (to live), tapi bukan merdeka dalam arti ‘ada’ (to exist). Hidup dapat dimaknai sebagai objek dari setiap gerakan global, dan ada dalam makna sebagai subjek dalam menentukan arah kebangsaan.

Hiruk pikuk peringatan hari kemerdekaan bangsa, tidak lebih hanyalah sebuah fantasi rakyat Indonesia menuju pada kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya. Merdeka tanpa hegemoni asing, tentunya dalam konteks apapun. Baik dalam konteks ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Bahakan tanmalaka menawarkan agar kita juga harus melakukan perubahan mentalitas kebangsaan yang masih sangat kental dengan karakter feodalnya. Mulai dari pioner-pioner bangsa, sampai pada tingkat masyarakat bawah.

Tak salah kalau kemudian dengan kondisi itu, kita telah kehilangan pengetahuan tentang makna ‘aku Indonesia’. Karena subjek aku sebagai rakyat Indonesia telah terpengaruhi oleh maenstream gerakan politik global. Hal ini berakibat pada hilangnya jati diri pengetahuan bangsa. Barangkali yang dikatakan Maichel fucoult benar adanya, bahwa relasi pengetahuan dan kekuasaan berjalan dengan hegemonik. Artinya, pengetahuan kita tidak terlepas dari perputaran kekuasaan. Hal itu bisa terjadi dalam konteks nasional maupun dalam ruang global.
Negara dunia ke tiga (termasuk Indonesia) harus mengakui, bahwa sampai detik ini tindak tanduk atau ruang kognitif dan prilaku kita masih dalam hegemoni pengetahuan yang di sebarkan oleh asing. Kita bisa lihat bagaimana Indonesia menerapkan sitem pemerintahan demokrasi. padahal tanpa kita sadari wacana demokrasi merupakan virus Amerika yang disebarkannya terhadap negara dunia ketiga. Lihat saja kasus invasi Amerika terhadap Irak, terlepas dari kepalsuan dari alasannya menjajah irak, ternyata beberapa analisis menyebutkan bahwa gerakan itu dilakukan hanya untuk menumbangkan rezim otoriter yang di nahkodai oleh Saddam Husein.

Ini berarti bahwa, Amerika tengah gencar menyebarkan virus yang bernama demokrasi untuk kepentingannya dalam memeperkuat emperium ekomnominya yang masih saja menganut sistem pasar bebas. Hal ini juga terjadi di Inggris, ketika melakukan paraktik imperialisme terhadap India. Adapun alasan gerakan imprealistik Ingris bisa kita lihat pemaparan John stuart Mill.

Pemikir liberal Inggris ini mendukung dan terlibat dalam imperialisme negerinya atas India, karena dia percaya tatanan imperial merupakan instrumen yang diperlukan untuk membawa bangsa terbelakang mencapai kemajuan. Argumen Mill bertolak dari klaim superioritas Inggris yang membawa misi pemberadaban. Dalam pandangan Mill, untuk mencapai kemajuannya, India tidak mungkin dibiarkan berdemokrasi sendiri karena pasti akan kacau. Demokrasi dan kebebasan hanya bisa berjalan baik dalam masyarakat dengan kultur dewasa seperti Inggris. Dalam pandangan Mill, imperialisme perlu karena itulah sarana yang secara bertahap akan membawa tahap ”kultur kanak-kanak” India ke tahap ”kultur dewasa”. Pada tingkat tertentu, argumen Mill ini punya kemiripan dengan doktrin imperialisme demokratik ala neokons. Paling tidak, ini ditegaskan Stanley Kurtz, salah seorang pemikir neokons, yang menyarankan rezim Bush mengacu desain yang ditawarkan Mill tentang imperialisme Inggris di India sebagai model bagi pengelolaan Irak (Policy Review, 2003).

Artinya paradigma yang melihat kelas dalam kontek superuoetas dan inferioritas itu masih tetap menjadi penyakita yang dipakai oleh Negara maju dalam melakukan gerakan ekonominya, dengan berkedok pada penerapan system demokrasi. ternyata paradigm yang demikian bukan lagi dijadikan basis penegtahuan yang menggerakkan antar ras seperti yang dilakukan oleh Hitler dijerman sebelum perang dunia ke II, akan tatapi lebih jauh lagi, paradigm tersebut sudah menjadi salah satu alasan yang dipakai untuk menggencarkan praktik imperialisme.

Sebagai Negra yang memilki potensi Sumberdaya Manusia dan Alam seperti Indonesia, seharusnya memiliki gerakan pengetahuan yang dapat termatrialkan dalam bentuk gerakan politik. Tentunya untuk mengantisipasi adanya hegemoni asing dalam setiap prilaku politik yang terjadi di dalam negeri. Ketika itu terjadi maka kontra hegemoni yang dibayangkan oleh Anthonio Gramsci akan terpraktekkan dalam raelitas pelawanan terhadap dominasi Negara maju.

Sebenarnya, Indonesia sudah banyak memiliki pengetahuan dalam kontek gerakan kebangsaan. Kita bisa membuka kembali, bagaimana gagasan Tanmalaka dengan Madilognya, Soekarno dengan NASAKOM-nya, Hatta dengan ekonomi kerakyatannya atau bahkan banyak tokoh gerakan lainnya yang pada waktu itu, benar-benar memiliki semangat kebangsaan untuk membangun negeri ini, menuju negeri yang memilki kepercayaan diri seutuhnya.

Bukankah Soekarno pernah mengatakan, bahwa lebih baik kita hidup diatas kaki kita sendiri dari pada harus menjadi pengemis bagi bangsa lain. Dari statement itu saja kita sudah bisa merefleksikan, bahwa Indonesia harus percaya dan yakin bahwa kita memiliki masa depan yang cerah tanpa harus melakukan kerjasama dengan bangsa lain. Karena, justru dengan kerjasama itu kita akan di kekang dalam ruang kepentingan partner asing.

Tidak ada komentar: