Fenomena banjir yang terjadi di belahan bumi pertiwi ini, perlu kita tanggapi secara kritis. Karena bencana alam ini, tidak biasa terjadi secara menyeluruh seperti yang kita rasakan hari ini. Berbeda dengan jakarta, dimana bencana banjir sudah menjadi rutinitas tahunan yang tak terhindari. Hal itu terjadi, karena banyaknya sampah yang tak terurus keberadaannya.
Dari example di jakarta, kita bisa melihat bersama, apakah benar indikasi datangnya banjir di daerah lain, juga dikarenakan tidak terurusnya sampah seperti yang terjadi dijakarta?. Paling tidak hal itu menjadi gambaran khusus yang bisa saja terjadi di daerah lain secara umum. Artinya, kerusakan alam yang diakibatkan dari ulah manusia (seperti kasus tidak terurusnya sampah) sudah tidak menjadi menjadi rahasia lagi.
Alam yang seharusnya dijaga/dirawat dan dimanfaatkan keberadaannya untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama, saat ini malah dijadikan sebagai objek eksploitatif oleh kelompok kepentingan. Sehingga, hal itu berdampak terhadap kondisi alam yang semakin hari semakin rusak adanya. Tak heran ketika akibat dari kerusakan alam tersebut berdampak terhadap hajat hidup orang banyak.
Karakter ekspoitatif, hari ini sudah menjadi tradisi dikalangan elit. Sebut saja si penguasa dan pengusaha, mereka sudah tidak berfikir panjang lagi akibat dari tindakannya yang mengeksploitasi alam untuk menggali keuntungan sebesar-besarnya. Ironisnya, keuntungan yang mereka dapat tidak sama sekali berdampak terhadap anggaran pemerintah untuk kesejahteraan rakyatnya.
Dan pintarnya, mereka dapat meyakinkan masyarakat bahwa tindakan yang mereka lakukan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan perekonomian negara. Media cetak maupun elektronik, adalah salah satu instrumen bagi mereka untuk mengkampanyekan kepentingannya terhadap negara. Adapun kesadaran kita hari ni, masih secara sempit melihat informasi-informasi yang didapat dari media tersebut. Akhirnya, mereka hanya bisa dengan seenaknya sendiri menikamati hasil dari tindak kejahatan yang terselubung, lewat media massa yang hari ini sudah tidak berpihak lagi terhadap rakyat.
Realitas Alam di Kota Malang
Saya ingin sedikit bercerita tentang kondisi alam yang terjadi di Kota Malang, tempat dimana saya tinggal sekarang. Kota Malang yang dikenal sebagai kota yang sejuk nan indah, hari ini identitas tersebut sudah mulai tidak relevan lagi. Artinya, identitas itu hanya bisa di iyakan pada era sebelum tahun 2000an atau bahkan sebelum tahun 90an. Karena, cuaca malang hari ni sudah mulai tidak stabil lagi, hal itu bisa dibuktikan dengan semakin panasnya cuaca malang dan semakin banyaknya terjadi kebanjiran setiap kali hujan datang.
Penyebab dari kondisi itu, juga tidak terlepas dari kejahatan manusia terhadap alam di kota Malang. kenapa demikian, karena alam yang dulu dipenuhi dengan rerumputan dan pepohonan, hari ini sudah tidak lagi ada di kota Malang. Karena, rerumputan dan pepohonan itu sudah berubah menjadi bangunan-bangunan elit dan komersil. Tentu, fakta itu ada akibat ulah para pengusaha yang kebetulan juga berselingkuh dengan penguasa.
Salah satu contoh dari realitas di atas, bisa dilihat dari banyaknya pembangunan mall di setiap wilayah strategis kota. Padahal, wilayah itu sudah menjadi wilayah yang seharusnya tidak boleh didirikan bangunan dalam bentuk apapun (PERDA Lingkungan Kota Malang tahun 2006). Bantaran sungai, area resapan tanah hijau, dan area hutan kota adalah wilayah yang seharusnya tidak dijadikan sebagai area pembangunan fisik. Karena diwilayah tersebutlah yang mengantisipasi adanya kerusakan kota. Namun, hal itu sudah tidak diperhatikan lagi oleh para pemodal ataupun pengambil kebjakan di kota Malang.
Alih-alih memperhatikan aturan, dampak sosial ekonominyapun sudah tidak menjadi perhatian lagi bagi mereka. Lagi-lagi itu terjadi hanya karena untuk mendapatkan sebuah keuntungan. Sebut saja di lingkungan pendidikan seperti area Universitas Brawijaya, adanya MATOS (Malang Town Square) di sebelah timur kampus itu, sangat berdampak sekali terhadap nuansa pendidikan yang ada disana. Hal itu jelas terjadi, karena beberapa pengunjung dari Mall yang cukup elegan itu, adalah mahasiswa dan juga siswa yang seharusnya belajar di kos-kosan atu bahkan di kampusnya.
Belum lagi dampak ekonominya, dimana sebelum didirikannya MATOS, di area UNIBRAW banyak warung-warung lesehan yang dijadikan tempat diskusi kecil-kecilan oleh para aktivis kampus. Setelah adanya pembangunan mall itu (MATOS), warung-warung tersebut akhirnya diusir oleh pihak pemerintah untuk tidak berjualan lagi disana.
Realitas di atas merupakan sebuah fakta yang sampai hari ini masih menjadi tradisi kelompok elit kita. Maka, hal itu merupakan salah satu alasan bagi seluruh komponen bangsa, untuk melakukan gerakan yang strategis dalam mewujudkan perubahan. SELAMAT BERJUANG..
Jumat, 18 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar