Pada tanggal 17 Agustus 2008 ini Indonesia akan berusia 63 tahun. Di usia yang sudah cukup tua itu, tentu akan menggugah semangat perubahan bagi kita semua dalam melihat masa depan bangsa. Semangat perubahan itu tidak akan pernah ada tanpa melalui proses belajar atas perjalanan sejarah pergerakan bangsa ini. Maka dari itu penting kiranya bagi kaum masa kini untuk selalu merefleksikan hari kemerdekaan ini sebagai cambuk pergerakan dalam melihat realitas kebangsaan di masa kini dan menatap masa depan Indonesia. Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indesia (NKRI) adalah harga mati. Kedaulatan bangsa adalah satu-satunya solusi dalam menjawab segala bentuk persoalan yang terjadi di masa kini.
Komitmen kesatuan dan persatuan bangsa dalam mengusir penjajah merupakan momentum sejarah yang harus dijamah untuk kemudian memunculkan semangat nasionalisme hari ini. Dengan bermodalkan bambu runcing dan gagasan yang revolusioner rakyat Indonesia mampu bersatu padu meneriakkan perubahan untuk merdeka. Padahal, seperti apa yang kita ketahui bersama bahwa Indonesia memilki keragaman di segala hal. Baik keragaman budaya, agama, kepercayaan, ras dan lain-lain. Maka menjadi keistimewaan ketika pada waktu itu rakyat Indonesia mampu bersatu padu dalam bingkai NKRI di atas keragaman tersebut.
Setelah Indonesia merdeka, semangat perubahan masih menjadi komitmen bersama dalam membangun bangsa ini. Nilai-nilai ideoligis selalu terinternalisasi dalam denyut perjuangan membangun bangsa. Hal itu bisa dilihat bagaimana Soekarno meneriakkan semangat kemandirian bangsa, bagaimana Hatta merumuskan konsep perekonomian kerakyatan (koperasi), bagaimana Tan Malaka menggugah adanya revolusi total, dan masih banyak lagi tokoh pergerakan yang lainnya dalam memberikan sumbangsih pemikirannya untuk Indonesia tercinta.
Bahkan di era orde lama, Indonesia sempat ikut mewarnai dinamika politik Internasional. Dengan gerakan non blok yang dipelopori oleh Soekarno, Indonesia pada kala itu menjadi Negara yang cukup diperhitungkan dalam perseteruan blok barat dan blok timur. Ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kekayan nilai dan nyali pergerakan dalam melakukan pertarungan politik dalam kancah International. Tidak ada kata takut selagi denyut jantung masih bergetar, begitulah kiranya sedikit gambaran semangat pergerakan Bung Karno dan kawan-kawan dalam mewujudkan perubahan. Hanya satu kata : Indonesia, itulah semangat nasionalisme yang selalu tercerap dalam pori-pori sejarah kebangsaan di masa lalu.
Namun harapannya kita tidak terjebak pada romantisme masa lalu, sehingga lalai dalam memperkuat komitmen kebangsaan di masa kini. Ketika kita lihat realitas kebangsaan saat ini, memang sangat memprihatinkan. Kedaulatan bangsa yang pernah ada di masa lalu sudah mulai terkikis adanya. Pancasila yang disepakati sebagi ideologi bangsa, hanya menjadi pajangan di setiap ruangan formal para pejabat publik kita. UUD 1945 diperdebatkan untuk meraup kekuasaan semata, tanpa difungsikan sebagai sentrum konstitusi dalam membangun bangsa.
Kekayaan yang kita miliki musnah seiring dengan eksploitasi bangsa asing terhadap sumber daya alam Indonesia. Kita saat ini hanya bisa menjadi budak bagi bangsa lain. kekuatan neoliberalisme telah memporakporandakan karakter kemandirian bangsa. Kemutakhiran kapitalisme lanjut telah berhasil membuat kesadaran bangsa ini menjadi kesadaran yang naif. Sehingga kita selalu pasrah atas persoalan yang terjadi, kita selalu beranggapan bahwa persoalan ini sudah kronis dan tidak akan ada solusi untuk keluar dari lingkaran penjajahan gaya baru ini.
Sistem pemerintahan pun carut marut, warnanya. Hal itu berdampak terhadap realitas kebangsaan secara menyeluruh. Sebut saja adanya konsep otonomi daerah, otonomi daerah tidak lantas dijadikan sebagai system pemerintahan yang memberikan peluang bagi daerah untuk lebih bebas melakukan manajemen pemerintahan dalam mengelolah daerahnya masing-masing. Namun otonomi daerah saat ini dijadikan sebagai wahana eksplotatif terhadap kekayaan daerah oleh pejabat-pejabat daerah tanpa intervensi dari pemerintah pusat. Karakter para pemimpin bangsa yang selalu mengutamakan kepentingan pribadinya berdampak terhadap komitmen rakyat Indonesia dalam memperkokoh kedaulatan bangsa. Pemimpin bangsa yang tidak pernah memperdulikan bangsanya sudah menjadi trand lidership Indonesia hari ini. Sehingga Negara yang sejahtera (welfare State) sementara ini masih menjadi harapan semata.